Wednesday, July 12, 2017

Single Bite

Siang di kota Semarang masih saja sepanas biasanya ketika bulan Juni memulai harinya. Aku sendiri masih berada di luar sebuah ruang ICU salah satu rumah sakit terbaik dan terbesar di kota ini. Di sampingku seorang pria sedikit diatas usiaku masih saja mendekap seorang perempuan setengah baya yang terus saja terisak.
"Pokoknya mama gak terima Lex, dia harus di hukum seberat beratnya! Mama ga terima Sasa jadi begini." kata perempuan itu di tengah isaknya yang tak juga mereda sementara lelaki yang kukenal bernama Alexander itu hanya membelai pelan rambut perempuan dalam dekapannya.
Sejenak aku menatap keduanya sebelum mataku bertemu dengan mata hitam lelaki itu. Aku tahu, ditengah tubuh tegap yang kini mencoba tegar memeluk sang mama tercinta, lelaki itu menyimpan kepedihan yang sama sekaligus kemarahan yang aku tahu juga cukup mengerikan untuk mengirim seseorang ke kamar jenazah rumah sakit ini.
"Siang tante, Lex, maaf baru bisa ke sini." sapaku pelan takut mengganggu pasangan ibu dan anak itu.
"Na..." hanya itu yang terucap dr bibir perempuan yang kukenal dengan nama tante Mia itu sebelum akhirnya perempuan itu pingsan di pelukan Alex.
"Ini sudah ketiga kalinya mama pingsan sejak tadi pagi, Na. Mama benar-benar shock." kata Alex pelan di sebuah ruang perawatan tempat mamanya di rawat.
"Bagaimana dengan Sasa, Lex?" tanyaku.
"Dia masih belum sadar sejak di bawa kemari. Setengah dari tubuhnya menderita luka bakar serius." jawab lelaki itu dengan kepala menunduk dan tangan terkepal kuat. " bisa kamu bayangkan, Na? Sasa dulu begitu cantik, tapi sekarang dia...." kalimat itu menggantung seiring tatapan matanya yang seolah menghujam ke mataku. Tapi bola mata itu basah. Basah oleh air mata kepedihan dan kemarahan yang amat sangat. Akhirnya kupeluk juga lelaki yang sudah dua tahun menjadi lelaki yang paling dekat denganku setelah almarhum papa.
Dan tangis itupun pecah di bahuku. Tangis yang tak pernah sekalipun kulihat selama hampir tiga tahun perkenalan kami. "Aku akan membuat perhitungan dengannya, Na! Dia harus merasakan apa yang dirasakan Sasa!" bisiknya di tengah isakan tertahan itu.

Aku mengenal Sasa dan keluarganya sekitar 3 tahun saat aku di semester akhir kuliah S1ku. Dari Sasa juga aku mengenal Alex, kakak kandung semata wayangnya. Sasa juga yang dengan sekuat tenaga menjodohkan aku dengan Alex. Aku mengenal mereka berdua sebagai pribadi yang kuat. Sasa memang sedikit manja pada Alex. Wajar bagiku karena mereka hanya dua bersaudara. Sasa juga termasuk gadis yang cantik, dengan wajah tirus, bermata bulat hitam yang kontras dengan wajahnya yang putih. Secara personal, Sasa juga gadis yang ceria, pandai bergaul, dan bukan tipe gadis yang pilih2. Kekurangan calon adik iparku hanya satu, saat sedang jatuh cinta, dia menjadi benar2 bodoh.
Dan begitu juga saat dia berkenalan dengan Darma, seorang pemuda dengan wajah tampan yang telihat lembut. Begitu lembutnya sampai aku dan Alex merasa mereka berdua cukup serasi untuk jalan bersama. sampai suatu hari aku melihat memar di lengan kiri Sasa saat berenang bersama.
"Lenganmu kenapa, Sa?" tanyaku waktu itu. sejenak kulihat kekagetan di wajah gadis itu. lengan yang putih membuat memar itu terlihat sangat jelas.
"Ehm, gpp kok, Na. Cm kebentur tangga aja." jawab Sasa di tengah kegugupannya. Entah kenapa aku menduga kalau ada kebohongan di dalam getar suara Sasa. Tapi entah kenapa juga saat itu aku tak punya keberanian untuk memberitahu Alex tentang hal itu.
sejak saat itu, semakin sering aku melihat baik luka ataupun memar di tubuh Sasa. dan gadis itu selalu menyembunyikanya dengan berbagai macam alasan tentang luka-luka itu. Sampai suatu hari Alex menyadari ada bekas tamparan di pipi adiknya dengan sudut bibir yang meninggalkan jejak darah kering. Dan pertengkaran hebatpun terjadi. Alex yang sudah terpancing emosi segera membuat Darma babak belur dengan sukses, sementara dua hari setelahnya Sasa meninggalkan rumah tanpa kabar. sampai hari ini, tepat tiga bulan kemudian

"Lex...." panggilku setelah lama terdiam di ruang tunggu menunggui dua orang yang sama-sama terbaring lemah.
"Hmmm..." jawabnya
"Sebenarnya ada apa sih dengan Sasa?” tanyaku hati-hati, “maksudku, aku tahu ini kondisi yang buruk untuk Sasa, dan thanks God she is still alive. Tapi pasti ada yg lebih dari itu hingga membuat mama menjadi begitu shock." Alex terdiam mendengar pertanyaanku. Lama sekali lelaki itu menahan jawaban diantara kepalan tangannya. Amarahnya membuat ruangan panjang itu terasa begitu menakutkan. Aku tidak pernah melihat lelakiku semarah ini.
"Sasa hamil, Na.” jawab lelaki disampingku, “tapi dia kehilangan bayinya sebelum kebakaran itu terjadi." jawab Alex lemah. Aku terdiam. Informasi terbaru ini membuat aku kehilangan kata. Atau mungkin aku kehilangan keberanian untuk berkata-kata. Kupeluk lelakiku lebih kuat. Sekali lagi kepala yang selalu tegak itu bersembunyi di helai rambutku. Sekali lagi ada basah di leherku.
“Pikirkan Sasa dulu ya, Lex,” kataku kemudian setelah emosinya mereda, “be strong for her,” lelaki itu mengangguk dan aku menghela sedikit nafas lega.

Sudah dua minggu aku bolak balik ke rumah sakit diantara setumpuk pekerjaan yang padat merayap. Sasa mulai membaik secara fisik. Tapi hanya fisik saja. Luka bakarnya tidak separah kelihatannya, masih bisa transplatasi kata dokter. Tapi psikisnya memburuk. Hanya Alex yang bisa mendekatinya. Itupun dengan susah payah.
“Dia ambil semuanya, mas!” hanya kalimat itu yang berulang-ulang diucapkan Sasa dalam pelukan kakaknya. Lelakiku menatap mataku dengan kemarahan yang tak bisa lagi kugambarkan. Dekapannya makin erat pada Sasa. Aku sendiri hanya bisa menahan air mata dan sebisa mungkin tampak tegar.

“Aku sudah kontak anak-anak, Na,” kata Alex tiba-tiba setelah Sasa diijinkan pulang. Aku tahu betul siapa “anak-anak” yang dimaksudnya. Jaringan “pertemanan” lelaki ini tidak bisa dianggap main-main. Kalau cuma sampah macam Darma, sampai dia sembunyi di kolong tikus pun teman-teman Alex pasti akan menemukannya.
Aku beranjak dari tempat dudukku dan mulai ke dapur rumah yang sudah sangat kukenal ini. Tak lama aku menyerahkan secangkir teh hangat pada Alex. Saat seperti ini tak ada yang bisa menahan lelaki ini.
“Boleh aku meminta satu hal?” tanyaku hati-hati.
“Apa?” jawabnya dingin. Aku mengatup tangan yang sedang menggenggam cangkir teh itu selembut mungkin.
“Apapun yang akan kamu lakukan, tolong jaga tangan ini tetap bersih untukku,” bisikku pelan. Alex menatapku. Tatapannya tak lagi penuh amarah. Aku menemukan kelembutan itu di sudutnya. Aku menemukan lagi lelakiku. Anggukannya sedikit melegakanku.
“Iya,” katanya.
“Janji?” tanyaku sekali lagi.
“Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi aku janji,” jawabnya meyakinkanku. Aku tersenyum lega.
“Aku pulang ya?” pamitku yang dijawabnya dengan anggukan dan senyuman tipis.

R
Aku tersenyum.
Alex    : I promise
Jariku bergerak ke atas layar smartphoneku.
Nara    : Naja Shop, Rhabdophis subminiatus, one bite in the pulse.
~retracted~

Kumasukan kembali smartphoneku kembali ke tempatnya. Aku tahu Alex akan menepati janjinya.

Monday, April 3, 2017

Musik kebangkitan geliat kota Lama


Saya bukan penggemar musik klasik. Bukan pula pendengar yang baik untuk musik-musik instrumental. Pengalaman saya dengan musik klasik tak lebih dari cerita alm. Mbah kakung yang memang mempelajarinya semasa belajar di sekolah guru Van Lith dan tumpukan-tumpukan kaset yang diputar sesekali saat week end. Tapi saya suka melakukan sesuatu yang jarang dilakukan atau setidaknya mencoba hanya sekedar iseng. I always love experiences.

gedung yang belum 100% renovasinya tapi sudah bisa seindah ini
Dan kali ini keisengan saya terdampar di sebuah gedung tua yang bahkan belum selesai direnovasi di kawasan kota lama semarang. Resital itu bertajuk Reborn The Spirit Chamber Recital. Kalau diingat-ingat, tipe resital semacam ini sudah dua kali ini saya ikuti. Yang pertama di salah satu moment kunjungan singkat di Yaman tahun 2011 silam. Lalu apa itu chamber recital?
Chamber music recital adalah sebuah pertunjukan music klasik yang digubah untuk kelompok musick dengan jumlah orang yang sedikit. Awalnya pertunjukan ini diadakan di dalam ruangan istana. Yang sudah pernah baca manga “Rose of Versailles” pasti tahu pertunjukan-pertunjuk music kecil yang diadakan di dalam ruangan di istana Marie Antoinette yang kadang diterjemahkan sebagai ruang salon. Dan karena diadakan di ruang terbatas, dengan pendengar yang terbatas juga, harus diakui saya menikmatinya. Jauh lebih menikmati yang seperti ini dibanding menonton sebuah konser besar. Setidaknya itu pendapat saya dari dua acara yang saya ikuti meskipun dengan jeda 5 tahun. Hmm… sepertinya beberapa hal memang gak berubah. 👅👅
Seperti judulnya “Reborn The Spirit” recital ini diadakan sebagai sebuah upaya untuk membangkitkan kota lama yang sudah terlalu lama mati suri. Bagian kota ini membutuhkan banyak darah segar untuk membangkitkan kembali kemegahannya. Bagi saya yang besar di kota ATLAS  ini dan melewati kota lama setiap hari, impian untuk melihat bagian kota ini menjadi seindah kota-kota tua di bagian dunia lain rasanya bukan lagi mimpi dan semakin nyata wujudnya.
Dan seperti juga judulnya, musik-musik dari recital ini sungguh musik-musik yang luar biasa. Pilihan-pilihan yang jarang dipertunjukan. Musik-musik yang penuh energi dari Eropa Timur yang berbeda dengan romantisme mendayu ala Eropa Barat yang pernah diperdengarkan alm. Mbah kung.
Pertunjukan ini dibuka oleh String Ensemble dari SMP Dominico Savio dan sebuah pertunjukan piano tunggal oleh seorang gadis mungil nan cantik. Melihat anak-anak yang masih SMP berkolaborasi semacam ini (dan  kenyataan bahwa saya bekerja untuk yayasan yang sama) rasa bangga mau gak mau nyelip juga. Hehehe….
string ensemble dari domsav

string ensemble dari domsav


Setelah sambutan-sambutan, romantisme dibangun oleh suara indah penyanyi soprano E. Maharani dengan iringan piano lembut dari mbak Ade Simbolon. Kemudian kita sedikit jalan-jalan ke Brazil dan berpesta jazz klasik dengan alunan petikan gitar dari Henry. Belum lagi duet gesekan cello mas Asep Hidayat dan petikan gitar Henry makin memanjakan telinga saja.
E Maharani dan suara Sopran nya

Henry dan petikan gitarnya

Mas Asep dan Henry yang bikin romantis

Menu utama recital ini disajikan setelah jeda istirahat yang gak lama. Sekedar melenturkan kaki yang penat duduk. Pilihan menunya menurut saya sangat sexy. Entah kebetulan, entah tidak, tapi ditengah issue sejarah 65 yang sedang didiskusikan dimana-mana, mbak Ade dan mas Asep memilih gubahan Amir Pasaribu dengan tema-tema asia seperti cina dan vietnam sebagai salah satu menu utama. Lalu ada hentakan energi dari Hungaria dan Rusia. Dessert hentakan manisnya pesta ala Eropa Timur pada encore mau tak mau membuat para pendengar melakukan standing applause.
mbak Ade dan mas Henry. duet yang mempesona
Last but not least, thank you very much pada Gaung Dawai dan teman-teman untuk pengalaman menyenangkan ini setelah bertahun-tahun. Mungkin masih banyak kekurangan (seperti soal sound dan nyamuk), tapi itu toh bisa diperbaiki jika suatu saat ada kesempatan seperti ini lagi. 
para pendukung acara

Tuesday, January 31, 2017

Grebeg Sudiro – Sebuah Dialog Budaya

Indonesia adalah sebuah negara multi etnis. Salah satu etnis yang memiliki sejarah panjang di negeri ini adalah etnis tionghoa. Tidak hanya secara ekonomi, budaya –budaya masyarakat peranakan tionghoa mempengaruhi banyak kebudayaan Indonesia. Salah satunya adalah festival Imlek yang diadakan di berbagai daerah dengan kultur budaya tionghoa yang kuat.

Bagi warga solo pasti tidak asing dengan yang namanya Grebeg Sudiro. Bagi warga yang dari luar Solo seperti saya, well, perlu browsing dan tanya – tanya dulu. Hehehe.

Jadi apa itu Grebeg Sudiro?
Kalau orang Jawa pasti tahu apa itu grebeg. Grebeg adalah sebuah tradisi bagi masyarakat Jawa untuk menyambut acara-acara besar seperti Maulud Nabi dan Suro (Tahun Baru Jawa). Umumnya acara grebeg diawali dengan doa dan puncak acaranya adalah perebutan gunungan yagn biasanya berisi hasil bumi. Hasil bumi berbentuk gunungan ini biasanya adalah sedekah dari keraton untuk masyarakat sebagai bentuk syukur kepada Tuhan. Masyarakat Jawa, terutama sekitar keraton, percaya bahwa jika kita mendapatkan bagian dari gunungan tersebut (meskipun cuma lidinya saja) bisa mendapatkan berkah tersendiri.

Lalu bagaimana dengan Grebeg Sudiro? Dalam Grebeg Sudiro gunungan yang biasanya berisi hasil bumi berganti dengan ribuan kue kranjang, kue khas masyarakat etnis tionghoa saat menyambut tahun baru Imlek, yang diarak sepanjang kawasan Sudiroprajan. Kawasan Sudiroprajan sendiri adalah sebuah kelurahan di kecamatan Jebres di kota Solo. Kawasan ini merupakan kawasan yang ditempati oleh warga China peranakan. Di kawasan ini mereka hidup berdampingan  dengan masyarakat Jawa.
Proses arak-arakan Grebeg Sudiro diikuti gabungan kesenian tradisional tionghoa seperti liong dan barongsai, serta kesenian jawa seperti tarian tradisional dan reog. Bahkan kesenian-kesenian kontempores juga turut mengisi perarakan ini.  Arak-arakan ini akan berhenti di depan Klenteng Tien Kok sie di Pasar Gede. Perayaan ini juga mengawali dinyalakannya lentera atau lampion-lampion untuk menyambut Tahun Baru Imlek.
lampion di depan jendela Pasar Gede
Berbeda dengan Grebeg  Suro yang merupakan sebuah budaya dari masa lalu, Grebeg Sudiro adalah sebuah tradisi baru. Perayaan ini dimulai tahun 2007, meniru perayaan Grebeg Suro.  Meskipun begitu perayaan ini bukanlah perayaan yang tiba-tiba ada. Perayaan Grebeg Sudiro yang sudah dimulai sejak tujuh hari menjelang Tahun Baru Imlek ini adalah lanjutan dari tradisi lama yang disebut Buk Teko. Menurut Wikipedia, Buk Teko adalah sebuah tradisi syukuran menjelang Tahun Baru Imlek. Tradisi lama ini sudah dirayakan sejak Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono X (1893-1939).

Tahun 2017 ini, karnaval budaya Grebeg Sudiro diadakan pada hari minggu tanggal 22 Januari 2017. Acara perarakan ini dimulai pukul 12.00. Puncak acara perarakan ini dalah pembagian kue kranjang kepada masyarakat yang hadir mengikuti prosesi ini. Pada malam tahun baru Imlek acara ditutup dengan pesta kembang api di kawasan Pasar Gede.
lampion ayam

the rooster dan bapak-bapak PM yang jaga

persiapan barongsai

mencari jalan untuk persiapan tampil para penari barongsai

the dragon dance (liong)

band yang lagu-lagunya asik dan ajaib :D

pesta kembang api

pesta kembang api yang total 20 menit

para pengunjung 
Untuk saya yang berasal dari Semarang, perayaan Imlek bukan hal baru sebenarnya. Yang membuat Grebeg Sudiro ini terasa berbeda justru karena saya tidak melihat sesuatu yang “China banget” di acara ini. Acara ini benar-benar menjadi sebuah akulturasi budaya. Sebuah dialog budaya antar etnis yang tercipta dengan elegan. Jika di pasar Semawis Semarang, kita akan mendapatkan suasana seperti pasar malam di sebuah kawasan pecinan, mulai dari pedagang sampai lagu-lagunya, dan tentu saja para om-om, tante-tante, dan para eyang yang ikut acara karaoke. Sementara di Grebeg Sudiro saya nyaris tidak menemukan pedagang dari etnis Tionghoa. Sepanjang saya melihat hanya ada pedagang kecil biasa. Bahkan saya tidak menemukan penjual pork yang biasanya ada di Pasar Semawis Semarang. Buat saya ini menarik. Bahkan band yang menemani pengunjung menunggu pesta kembang api pun lagunya tidak ada yang lagu mandarin, setidaknya selama saya muter-muter di sekitar kawasan Pasar Gede dari jam 22.00 sampai kembang api selesai. Selain lampion beraneka bentuk dan aroma dupa yang selalu menyenangkan untuk saya, hanya ada tarian lion dan barongsai penanda budaya Tionghoa yang terlihat.

Sebagai agenda tahunan, acara Grebeg Sudiro ini not bad. Not bad at all.
PS: bikin saya pengen ke festival imlek lain di Indonesia *crossing fingers*



Source : https://id.m.wikipedia.org/wiki/Grebeg_Sudiro
Foto: dokumen pribadihttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Grebeg_Sudiro

Sunday, January 29, 2017

Masjid Kota Gede


 Jogja tak pernah kehabisan tempat untuk melempar saya pada kenangan-kenangan sejarah. Kali ini kenangan itu bernama Masjid Kota Gede.

Seperti namanya, masjid ini berada di pusat kerajinan perak Jogja, Kota Gede. Masjid ini berada di sudut kawasan kota gede, berdekatan dengan pasar. Konon, masjid ini usianya jauh lebih tua dari Masjid Agung di kauman. Bahkan masjid Agung adalah versi besar dari Masjid Kota Gede.
gerbang depan masjid

ornamen tugu jam halaman masjid
bangunan masjid. di atas gerbang tertulis 1856 dan 1926
pintu ke serambi masjid

Bangunan Masjid Kota Gede bisa kita lewati ketika kita akan berkunjung ke makam raja-raja mataram. Entah kenapa saya suka masjid ini. Meskipun bangunan lama tapi tidak ada kesan singup. Kalau mesjid agung di alun-alun punya kesan megah dan gagah, tapi buat saya masjid ini memberi efek tenang. Banyaknya pohon juga memberi kesan sejuk yang mebuat nyaman. Gak malu, dah tidur di emper masjid saya. Hehehe
penghalang antara gerbang dan bangunan masjid. melihat tipe penghalang seperti ini di bali

kolam di sekeliling masjid

kolam di sekeliling masjid


Di belakang masjid terdapat komplek makam para founding father Kerajaan Mataram Islam, diantaranya Ki Gee Pemanhan, Panembahan Senopati, dan Panembahan Hanyakrawati (Seda ing Krapyak). Kompleks makam ini tidak setiap hari dibuka. Area pemakaman hanya dibuka pada hari minggu, senin, kami, dan jumat setiap jam 10.00 -13.00 WIB. Hari lain dan bulan Ramadhan area pemakaman ditutup. Kalau yang berniat ke makam bisa datang saat hari-hari tersebut dan menghubungi sekertariat untuk menyewa baju tradisional (wajib ini) dan tidak boleh ambil foto di area makam. Sedikit mengintip ke area makam, kijing pada makam terbuat dari batu-batu hitam. Kebanyakan sudah berlumut karena fakto usia. Aura singup ketika mengintip membuat saya ingin buru-buru menutup pintunya. Mungkin terpengaruh karena itu makam dan warna hitam batu-batu makamnya. Apa lagi pintunya juga hitam.
gapura ke arah makam dan sendang

gapura dari dalam


can you read it?

gapura ke makam

pintu ke makam
Di sebelah barat daya terdapat sepasang sendang yang disebut sendang kakung dan sendang putri. Saya membayangkan sepasang sendang ini pasti indah pada jaman dulu. Bahkan ketika tempat ini menjadi situs sejarah pun masih terasa keindahannya. Sendang kakung cukup terbuka dan bisa langsung dilihat ketika kita melewati gerbang sendang seliran. Sementara sendang putri meskipun letaknya lurus dengan gerbang tapi tempatnya lebih tertutup.
sendang kakung
sendang kakung
 
kolam sendang kakung
                                   
sendang putri
kolam sendang putri
semacam kamar mandi di sendang putri

Kesan pertama mengunjungi situs bersejarah ini selain tenang adalah bersih. Dengan begitu banyak pohon, kebersihannya patut diacungi jempol. Aroma dupa meski tak kuat dan sisa-sisa bunga tabur kering juga masih menghiasi beberapa sudut tempat ini.
sisa bunga dan dupa
bersih. bahkan sampah daun saja tidak ada
bangsal kencur - bisa dipakai untuk istirahat setelah mandi di sendang putri-
  

Untuk yang mau mampir bisa datang kapan saja.
HTM free
parkir motor: 1000
isi buku tamu di sekeratriat: sukarela
daftar jam buka

hormati peraturan ya :)


Tuesday, January 24, 2017

Istirahatlah Kata-kata; Sebuah Melodi Tanpa Coda

Awal minggu ini berkesempatan memberi sedikit vitamin pada otak yang sedang jenuh. Terima kasih untuk yang sudah rela menemani dan mengurangi jam tidur demi nomat. I really appreciate it.

huft.....
yang berniat menonton film ini untuk refreshing, lupakan saja. film ini tidak ada refreshnya blas.
"makanya yang nonton dikit mbak," *ngomong ma diri sendiri*
kalau yang melihat jadwal nonton di 21cineplex akan melihat ini sebagai film biografi. menurut saya sih gak sepenuhnya biografi. buat saya lebih cocok dibilang kisah pelarian.

film ini berkisah tentang proses pelarian seorang penyair bernama Wiji Thukul sejak insiden kerusuhan 27 Juli 1996 yang melibatkan PRD pada masa orba. lelaki sederhana ini meninggalkan semua yang dimilikinya karena puisi-puisinya yang menyerang pemerintah. kata-kata yang jujur yang mewakili kebosanan rakyat pada rezim bobrok yang hanya gemilang di luar tapi penuh borok di dalam. rezim milik the smiling general.

tak seperti film-film populer, film ini tenang, terlalu tenang pada moment-moment tertentu. seperti sebuah meditasi visual. tidak ada music yang menghentak, tidak ada gambar yang fantastis, tidak ada make up yang ajaib. film ini bersih. kalau saya bilang film ini seperti seduhan green tea diantara asupan radikal bebas sinetron TV gak jelas. yang ada di film ini adalah alunan puisi dari sepasang mitraliur tak sempurna. 

partner nonton saya berkomentar bahwa film ini membuat dia merasa seperti kembali ke saat-saat dia menjadi bagian dari pergerakan 1998. saya tidak punya pembanding yang sama karena saat itu saya hanya merasakan efek jauh. saya tidak terlibat periode itu. tapi entah kenapa saya merasa memahami kengerian sekaligus heroismenya. kisah-kisah yang saya dengar dari keluarga dekat cukup membuat saya seolah ada di sana. 

ketika film berakhir, kami tak juga beranjak. rasanya seperti butuh jeda untuk bernafas. rasanya seperti mendengarkan lagu yang terus meninggi tanpa ada ritme closing. seperti melodi yang tak punya coda. dan emosimu terlanjur ada di atas. kata partner nonton saya, film ini endingnya gak jelas. buat saya film ini memang tak seharusnya punya ending kita sang tokoh yang diceritakan hingga sekarang tak tahu apakah sudah berakhir atau tidak.

"aku tidak ingin kamu pergi, tapi aku juga tidak ingin kamu tinggal. aku hanya ingin kamu ada"
-sipon- 

ISTIRAHATLAH KATA-KATA

istirahatlah kata-kata
jangan menyembur-nyembur
orang-orang bisu

kembalilah ke dalam rahim
segala tangis dan kebusukan
dalam sunyi yang mengiris
tempat orang-orang mengingkari
menahan ucapannya sendiri

tidurlah kata-kata
kita bangkit nanti
menghimpun tuntutan-tuntutan
yang miskin papa dan dihancurkan

nanti kita akan mengucapkan
bersama tindakan
bikin perhitungan

tak bisa lagi ditahan-tahan

solo, sorogenen,

12 agustus 1988

copied from here

Wednesday, November 9, 2016

Kubunuh Dia Karena Cinta

(repost)
malam begitu larut saat beberapa orang kantor salah satu harian kotaku baru saja masuk ke gedung berlantai lima, yang memang biasa beraktivitas nyaris 24 jam penuh, termasuk aku. beberapa sapaan orang orang yang kulewati atau orang orang yang melewatiku terbalas sekedarnya demi mengejar deadline berita yang baru saja kuliput. begitu sampai meja kuletakkan tasku diatasnya dan mulai membuka lappy kesayanganku sebelum sapaan lembut play boy kantor cap tokek mampir ke mejaku.
"gimana liputannya Met?" tanya Bram dengan senyumnya yang sialnya manis banget itu.
"menurutmu gimana?" tanyaku balik, "kamu kan lebih berpengalaman dari pada aku, pasti kamu lebih tahu rasanya liputan kasus pembunuhan." lanjutku sambil mengeluarkan tape recorderku dari sarangnya di bodypack hitamku.
"setiap pembunuhan itu tidak hanya berbicara tentang cara atau metode, Met. yang terpenting adalah, dia mengungkap motive atau latar belakang pelaku melakukan pembunuhan itu. tapi sebagai seorang wartawati, kamu juga tidak boleh terlibat dengan pelaku atau object liputanmu, itu akan mempengaruhi obyektivitasmu. kamu harus mempelajari ini mulai sekarang, mumpung kamu masih calon wartawati." petuahnya panjang lebar. kalimat terakhirnya menyadarkanku dengan posisiku.

aku memang mahasiswi jurusan sastra yang sedang magang di kantor itu. setelah satu bulan hanya mengurus translate artikel yang membosankan, akhirnya sore tadi pimred memintaku menggantikan tugas seorang wartawati senior yang sedang cuti untuk melakukan liputan. tapi entah setan yang lari dari neraka atau malaikat kabur dari surga yang merasuki pimredku sehingga aku diserahi liputan pembunuhan yang baru saja terjadi sore tadi. dan sialnya kameramenku yang baik hati bernama Abraham Wicaksono alias Bram si play boy kantor cap tokek yang baru saja mengganggu ku itu ada tugas untuk mengambil gambar di tempat lain dan hanya menemaniku beberapa menit di kantor polisi.
jujur saja, kantor polisi bukanlah tempat yang nyaman untuk di datangi. aku berani sumpah kesamber gledek tujuh turunan untuk hal satu ini. apalagi kalau kantor itu sedang penuh dengan orang berwajah yang menurutku menakutkan. image yang terlanjur kubangun untuk tempat yang disebut kantor polisi benar2 menyebalkan dan intolerable.
tapi saat melihat perempuan yang terduduk di sudut sel itu image itu berubah. perempuan itu menurut polisi yang bertugas saat itu bernama Marini, berasal dari sebuah kawasan elite kota tempatku belajar ini. siang tadi dia datang ke kantor polisi itu dan berkata telah membunuh anaknya dan meninggalkan anaknya di rumah di dalam kamar. dengan rambut sebahu dan baju indah dan aku tahu mahal membalut tubuhnya yang langsing, perempuan itu terlihat cantik. jauh dari image seorang pembunuh atau konsep pembunuh yang ada di otakku. polisi yang bertugas saat itu mengizinkan aku bicara dengan perempuan itu sambil mewanti wanti kalau ada apa2 aku harus segera memanggil petugas yang berjaga karena mereka belum yakin dengan kondisi kejiwaan perempuan itu.
"nama mbak siapa?" tanya perempuan bernama Marini itu mengejutkanku. seharusnya aku lah yang mulai bertanya padanya.
"Meta. saya wartawati." jawabku
"saya tahu. " sambil menunjuk pada pers id yang kupakai. perempuan ini sepertinya cukup terpelajar, batinku. "nama saya Marini."
"Kenapa mbak Marini membunuh putri mbak?" tanyaku sesopan mungkin sambil berusaha mengontrol emosiku saat itu semnetara tanganku sibuk menempatkan recorderku.
"karena aku mencintainya. karena aku harus menyelamatkan hidupnya." keningku berkerut. bukan cara yang wajar untuk menyelamatkan hidup seseorang dengan membunuhnya.
"aku menikahi lelaki itu. sepuluh tahun kuhabiskan waktu bersamanya. dan kami bahagia, Met." dia mulai bercerita, "boleh aku panggil kamu Meta?" aku mengangguk.
"Kami bahagia, Met. pernikahan yang megah, dihadiri seluruh anggota keluarga dan teman teman istimewa, dan bulan madu yang luar biasa. sepuluh tahun aku merasa pernikahanku sempurna. apalagi di tambah aku hamil setelah sekian lama menunggu. sampai delapan bulan yang lalu. bulan ke dua masa kehamilanku, kesempurnaan itu runtuh. hari itu aku pingsan. lelaki itu membawaku ke rumah sakit untuk perawatan. satu minggu kemidian dokter memberi kabar itu. aku tak hanya positif hamil, tapi juga positif HIV." aku tehenyak mendengar kisahnya.
"aku bingung, Met. virginitasku terjaga hanya untuk dia, dan sepuluh tahun aku setia. lalu dari mana datangnya bencana ini?" aku terdiam. kami berdua tahu jawabannya.
"aku bukan orang bodoh , Met. aku tahu bayi yang ada di perutku berpotensi besar mengidap virus yang sama. dan bisa kau bayangkan hidupnya Met? harus minum obat yang sma setiap hari seumur hidup, harus menghadapi penolakkan dimana2, tidak punya teman, apa lagi sahabat, dan dia perempuan Met, sama seperti aku dan kamu. lelaki mana yang mau menikahi perempuan yang bisa meracuni dan membunuh keturunannya? tidak ada, Met. tidak ada.
"aku berusaha menggugurkannya. dia tidak boleh mengalami penderitaan itu. anakku tidak berhak menderita sedalam itu. anakku tidak boleh terluka. tapi dia bertahan. dia bertahan di dalam sana. seolah melawan segala yang telah kuberikan untuk menghilangkannya. dan dia lahir. lelaki itu menggendongnya. dia bahagia. dan Maria, anakku, tersenyum. Maria tidak tahu bahwa dia akan menderita. tapi dia tak boleh menderita Met. "
aku tercenung. sesaat sebelum petugas kantor polisi memberitahuku bahwa waktuku sudah habis. kumatikan recorderku dan menatap Marini yang dibawa pergi seorang petugas wanita.
"terima kasih Met." katanya. "terima kasih." senyumnya mengembang.

aku mendengarkan kembali rekaman yang tertangkap recorderku. dan masih tidak bisa berbuat apa apa di depan lappyku yang masih menyala menghabiskan baterynya dengan percuma. Bram kembali mampir di mejaku.
"mau ikut ke kantor polisi atau aku saja yang pergi?" tanyanya.
"ada apa lagi? orang g bisa nunggu sehari untuk bikin berita kriminal ya?" gerutuku pada Bram karena mengganggu konsentrasiku yang lebih tepat dinamakan lamunanku.
"Marini, object beritamu, bunuh diri di sel. ternyata dia menyimpan obat tidur dosis tinggi di tubuhnya." aku terhenyak. aku tak mendengar lagi sisa kalimat Bram.

Sunday, October 9, 2016

Mocca

Kling!
Suara tanda seseorang masuk ke kedai kopi di Jl. Letjen Suprapto itu berdenting. Damar, sang barista sekaligus pemilik tempat itu, baru saja menggiling sedikit biji kopi yang baru saja selesai dirostingnya pagi itu. Lelaki berperawakan tinggi sekitar 175 cm itu menghentikan langkahnya ketika mendapati perempuan yang selalu ditunggunya setiap pagi memasuki kedai kopinya. Perempuan chubby dengan tinggi tak lebih dan tak kurang dari 160 cm itu memamerkan sepasang lesung pipi di pipinya sambil melangkah menuju meja bar.
“Pagi, Nin!” sapa Damar ramah.
“Pagi,” balas perempuan bernama Anin itu sembari mulai mengeluarkan potongan cake tiramisu dari dalam kotak.
“Cuma 16, Nin?” tanya Damar menghitung sekilas cake yang baru saja keluar dan masih terlihat cantik di atas paper cup.
“Iya, seperti biasa,” jawab Anin santai.
“Tidak mau tambah lagi? Banyak yang suka lho,” Anin tersenyum kembali. Sepasang lesung pipi itu selalu tampak manis untuk Damar.
“Ini kiriman terakhir ya, mas.”
“Eh? Maksudnya bagaimana?” kening Damar berkerut dengan sukses.
“Ya besok aku sudah tidak buat lagi,” Anin mencoba menjelaskan.
“Kenapa?” tanya Damar lagi.
“Kopinya habis mas,” jawab Anin, “Sudah ya mas, nanti malam aku ambil uangnya seperti biasa. Mau berangkat kerja dulu,” pamit gadis itu sambil ngeloyor pergi sebelum Damar bereaksi apa-apa.
Damar menatap kosong pada 16 tiramisu cake yang kini berjajar di meja bar. Warna cokelat tua dengan aroma kopi ule kareng membuat lelaki itu jatuh cinta pada cake ini saat suapan pertamanya hampir setahun yang lalu. Cream dan base cake yang seolah meleleh di mulut dan hanya meninggalkan jejak pahit manis seolah menambah cinta itu. Adalah Bella, sepupunya, yang memperkenalkannya pada manis-pahitnya dessert khas Italia itu. Saat itu Bella iseng pesan tiramisu cake seloyang besar dari instagram saat ulang tahunnya sendiri dan membaginya dengan Damar dan para pegawainya. Lembutnya cream vanilla yang manis dan cake yang kopi banget membuat Damar memaksa ingin bertemu dengan sang pemilik akun  @kuemanisku itu.
****
Pertemuan pertama mereka dibuat oleh Bella juga dengan memesan seloyang cake lagi dan langsung COD di kedai kopi Damar. Dan saat itu pula lelaki itu mengenal Anindya Putri. Perempuan muda usia hampir 30 yang seolah menghadapi hidupnya dengan sejumlah keisengan belaka, termasuk tiramisu cake yang hanya dibuat jika ada yang memesan saja. Tanpa berpikir ulang, Damar menawarkan kerja sama yang anehnya diterima dengan alot oleh Anin. Bahkan Damar terpaksa menyetujui bahwa bisa saja tiramisu cake itu tidak selalu ada dan bahwa perempuan itu tidak mau mengambil kembali cake yang tersisa. Syarat yang aneh dan beresiko untuk sebuah usaha yang tidak besar seperti kedai kopinya sekaligus usaha cake milik Anin karena perempuan itu hanya mau menerima uang hasil penjualan yang sudah dikurangi komisi. Perempuan satu ini seolah tak ingin tahu dengan segala perhitungan untung ruginya. Untung saja cake itu hampir selalu habis jadi Damar tak perlu memusingkan apapun berkaitan dengan itu.
Dan sekarang sudah hampir satu tahun kerja sama itu terjalin. Damar sudah begitu terbiasa dengan kehadiran Anin di kedainya. Lelaki itu sudah begitu terbiasa melihat perempuan chubby itu masuk ke kedainya tepat jam 9 pagi. Damar terbiasa dengan senyum yang memerkan sepasang lesung pipi di pipi bulat perempuan itu sama terbiasanya dengan sepotong tiramisu yang dinikmatinya begitu Anin melewati pintu kedainya.
“Kamu jatuh cinta,” begitu komentar Bella suatu kali di kedai kopi Damar setelah genap satu bulan Anin benar-benar menghentikan kiriman tiramisunya. Sepupunya yang kuliah psikologi itu memang sering sok-sokan berubah menjadi psikiater amatir untuk para anggota keluarga dan kali itu Damar lah yang menjadi korban.
“Pada siapa?” tanya Damar berusah cuek.
“Pada Anindya Putri Dewanti,” jawab Bella sambil menyuapkan spaghetti bolognaise buatan pegawai kedai ke mulutnya.
“Ngawur!” balas Damar sembari melempar kain lap cangkir ke arah sepupunya. Bella kemudian tertawa puas. Dan sepanjang malam itu Damar memikirkan ocehan singkat Bella.
****
“Sebenarnya aku tidak paham, Dam” celetuk Bella suatu kali.
“Tidak paham apa?” tanya Damar acuh.
“Apa sih yang kamu cari?” tanya Bella, “Damar Dian Pratama, mapan, cerdas, keluarga yang baik, dan bisa dibilang sukses. Lalu apa lagi yang kamu cari?” lanjut Bella dengan gayanya yang lebai[dot]com itu.
“Maksud kamu apa sih Bel?” Damar mulai berkutat dengan kopinya seperti yang dilakukannya setiap kali dia gusar.
“kamu tahu maksudku, Dam” jawab Bella pelan. Damar menghela nafas. Lelaki itu mulai menuangkan air ke filter kopinya. Aroma harum yang selalu dia suka sekaligus selalu berhasil menenangkannya menguar memenuhi indra penciumannya.
“Aku akan jatuh cinta lagi, Bel” jawab lelaki itu, “pada waktunya nanti,”
Bella menghela nafas. Lelaki ini membuat orang-orang disekitarnya kuatir. Setelah penghianatan Laras sepuluh tahun lalu, tak ada kisah tentang perempuan lain penggantinya. Yang ada adalah kisah-kisah tentang perjalanan yang seolah tak ingin diselesaikannya. Bahkan saat kedai kopi miliknya dibangun. Bukan berarti lelaki ini masih mencintai Laras. Bella yang paling tahu bahwa kisah itu sudah benar-benar selesai. Rasa itu sudah netral. Tapi Damar memang tak mudah menambatkan hati seperti juga sepasang kakinya yang tak pernah menancap di satu tempat.
“Kalau kamu belum menemukan alasan untuk pulang, setidaknya buatlah tempat untuk pulang” pesan Bella saat itu. Kalimat itu pula yang membuat Damar membuka kedai kopi di sudut kota lama yang merupakan salah satu asset terbengkalai keluarganya. Tempat untuk sekedar pulang.

Sekarang Damar memikirkan kembali pesan itu. Keping memori di otaknya dengan sadis mengulang kalimat itu dan pernyataan Bella bergantian. Tapi kalau benar dia jatuh cinta pada Anin, lalu apa? Lelaki itu nyaris tak tahu apa-apa tentang perempuan yang di ponselnya diberi nama tiramisu girl itu. Nama itu tampil dengan jelas lengkap dengan gambar sepotong tiramisu cake sebagai display picture bbmnya.
Damar  : “Ping!”
Anin    : “yup?”
Damar  : “lama gak mampir kedai”
Anin    : “iya”
Damar  : “gak kangen?”
Anin    : “Kangen siapa?”
Damar  : “kangen aku misalnya?”
Anin    : (laughing emoticon) gak
Damar  : “tapi aku kangen”
Anin    : “sama?”
Damar  : “tiramisu cake kamu”
Anin    : (smile) “sudah tidak buat tiramisu. Sudah ganti menu”
Damar  : “apa menu barunya?”
Anin    : “chocolate roll cake”
Damar  : “order satu dong”
Anin    : “untuk kapan?”
Damar  : “besok?”
Anin    : “malam ya?’
Damar  : “ok”

Kling!
Suara itu terdengar untuk kesekian kalinya malam itu di kedai Damar diikuti ucapan selamat datang dari para pegawainya. Malam yang sibuk tapi entah kenapa hatinya tak tenang. Sudah empat kali Damar salah membuat pesanan dan membuat para pegawainya bingung. Wajah tegang lelaki itu berhias senyum tipis yang nyaris tak terlihat ketika bayangan Anin tertangkap matanya.
“Sibuk, mas?” tanya Anin
“Lumayan,” jawab Damar. Senyum terlihat di sepasang matanya. Tak berapa lama sepasang manusia itu sudah duduk di teras lantai dua kedai itu.
“Bagaimana?” tanya Anin usai Damar menghabiskan potongan pertamanya.
“Yummy,” puji Damar, “chocolate mouse nya lembut banget. Bolunya juga gak terlalu manis. Aku suka,”
“Syukurlah,” senyum mengembang memamerkan sepasang lesung pipi yang selalu dirindukan Damar dengan sukses.
“Nin,” bisik Damar pelan.
“Hmm?” gumam Anin.
“Kenapa ganti cokelat?” tanya Damar
“Kan aku sudah cerita, kopinya habis,” jawab Anin santai.
“Kalau cuma masalah kopi, aku bisa sediakan untuk kamu,” desak Damar.
Anin menghela nafasnya sendiri. Dari wajahnya tersirat dia tidak ingin bercerita lebih banyak. Tapi Damar menunggu. Lelaki di depannya terus menunggu sambil menyuapkan sedikit demi sedikit seloyang roll cake di depannya. Dan kisah itu meluncur seperti air bah yang sudah terlalu lama dibendung. Kisah tentang seorang pria penggemar kopi yang berusaha memperkenalkan serbuk hitam itu pada seorang gadis pecinta cokelat. Serbuk hitam yang hampir selalu berakhir dengan asam lambung akut di akhir sesapannya. Kisah tentang pria yang menyerah menjelang hari pernikahan dan meninggalkan sekaleng ule kareng yang siap diseduh.
Damar terpaku. Langkah ringan dan senyum perempuan didepannya menipu semua orang dengan sukses. Siapa yang menyangka perempuan yang banyak senyum itu menyimpan luka dan serpihan hatinya sendiri.
“Tiramisu itu hanya cara agar kopi itu cepat habis, mas,” tutup Anin, “setiap adonan dan setiap potongannya adalah kenangan yang ingin kubuang. Katakanlah ini terapiku menutup luka yang dia buat. Tiramisu terakhir adalah batas waktu yang kutetapkan untuk kembali pada diriku sendiri,”
Damar menatap senyum lembut perempuan di depannya. Masih ada getir di sepasang mata berkacamata minus itu. Tapi senyum itu tulus juga. Tiba-tiba Damar tertawa. Derai tawa yang membuat Anin bingung.
“Apa yang lucu sih mas?” tanya perempuan itu. Ekspresi bingung di wajah Anin membuat Damar makin keras tertawa. Tawanya makin menjadi ketika disadarinya Bella akan tertawa menang saat menagih traktirannya nanti.
“Tunggu di sini sebentar ya, Nin,” kata lelaki itu ketika tawanya mereda. Damar bangkit dari duduknya dan meninggalkan Anin yang masih bingung tapi tak urung menuruti perkataan Damar untuk tinggal.
Tak lama Damar datang lagi dengan segelas minuman ditangannya. Lelaki itu meletakkan minuman beraroma kopi bercampur vanilla di depan Anin yang masih saja bingung. Damar tersenyum.
“Aku gak minum kopi, mas,” kata Anin bingung.
“Coba dulu,” bujuk Damar. Entah karisma Damar, atau senyumnya yang membuat Anin menyerah mencicip minuman itu.
“Jadi?” tanya Damar singkat.
“Manis, lembut, cokelatnya terasa, tapi wangi kopi. Es krim vanillanya juga enak banget. Enak,” jawab Anin.
“Nin, aku berharap bisa memperkenalkan kopi-kopi beraroma nikmat seperti ini padamu,” kata Damar serius, “tapi aku tak bisa memaksa dan tidak ingin memaksa. Aku hanya bisa menawarkan jalan tengah untuk cokelatmu dan kopiku. Aku menawarkan mocca untuk kita. Maukah kamu menerimanya?”
Anin menatap Damar. Ada keseriusan di sepasang matanya. Perempuan itu tertunduk. Sejujurnya ada ragu itu untuk hatinya sendiri. Siapkah hatinya mengambil resiko lagi? Siapkah dia terluka lagi? Siapkah dia jatuh cinta lagi?
“Boleh buat bikin kue?” tanya Anin dengan senyum isengnya yang membuat Damar tergelak lalu mendaratkan ciuman di jari kekasih barunya.