Siang di kota Semarang masih saja sepanas biasanya ketika
bulan Juni memulai harinya. Aku sendiri masih berada di luar sebuah ruang ICU
salah satu rumah sakit terbaik dan terbesar di kota ini. Di sampingku seorang
pria sedikit diatas usiaku masih saja mendekap seorang perempuan setengah baya
yang terus saja terisak.
"Pokoknya mama gak terima Lex,
dia harus di hukum seberat beratnya! Mama ga terima Sasa jadi begini."
kata perempuan itu di tengah isaknya yang tak juga mereda sementara lelaki yang
kukenal bernama Alexander itu hanya membelai pelan rambut perempuan dalam dekapannya.
Sejenak aku menatap keduanya
sebelum mataku bertemu dengan mata hitam lelaki itu. Aku tahu, ditengah tubuh
tegap yang kini mencoba tegar memeluk sang mama tercinta, lelaki itu menyimpan
kepedihan yang sama sekaligus kemarahan yang aku tahu juga cukup mengerikan
untuk mengirim seseorang ke kamar jenazah rumah sakit ini.
"Siang tante, Lex, maaf baru
bisa ke sini." sapaku pelan takut mengganggu pasangan ibu dan anak itu.
"Na..." hanya itu yang
terucap dr bibir perempuan yang kukenal dengan nama tante Mia itu sebelum
akhirnya perempuan itu pingsan di pelukan Alex.
"Ini sudah ketiga kalinya mama
pingsan sejak tadi pagi, Na. Mama benar-benar shock." kata Alex pelan di
sebuah ruang perawatan tempat mamanya di rawat.
"Bagaimana dengan Sasa,
Lex?" tanyaku.
"Dia masih belum sadar sejak
di bawa kemari. Setengah dari tubuhnya menderita luka bakar serius." jawab
lelaki itu dengan kepala menunduk dan tangan terkepal kuat. " bisa kamu
bayangkan, Na? Sasa dulu begitu cantik, tapi sekarang dia...." kalimat itu
menggantung seiring tatapan matanya yang seolah menghujam ke mataku. Tapi bola
mata itu basah. Basah oleh air mata kepedihan dan kemarahan yang amat sangat. Akhirnya
kupeluk juga lelaki yang sudah dua tahun menjadi lelaki yang paling dekat
denganku setelah almarhum papa.
Dan tangis itupun pecah di bahuku.
Tangis yang tak pernah sekalipun kulihat selama hampir tiga tahun perkenalan
kami. "Aku akan membuat perhitungan dengannya, Na! Dia harus merasakan apa
yang dirasakan Sasa!" bisiknya di tengah isakan tertahan itu.
Aku mengenal Sasa dan keluarganya
sekitar 3 tahun saat aku di semester akhir kuliah S1ku. Dari Sasa juga aku
mengenal Alex, kakak kandung semata wayangnya. Sasa juga yang dengan sekuat
tenaga menjodohkan aku dengan Alex. Aku mengenal mereka berdua sebagai pribadi
yang kuat. Sasa memang sedikit manja pada Alex. Wajar bagiku karena mereka
hanya dua bersaudara. Sasa juga termasuk gadis yang cantik, dengan wajah tirus,
bermata bulat hitam yang kontras dengan wajahnya yang putih. Secara personal,
Sasa juga gadis yang ceria, pandai bergaul, dan bukan tipe gadis yang pilih2. Kekurangan
calon adik iparku hanya satu, saat sedang jatuh cinta, dia menjadi benar2
bodoh.
Dan begitu juga saat dia berkenalan
dengan Darma, seorang pemuda dengan wajah tampan yang telihat lembut. Begitu
lembutnya sampai aku dan Alex merasa mereka berdua cukup serasi untuk jalan
bersama. sampai suatu hari aku melihat memar di lengan kiri Sasa saat berenang
bersama.
"Lenganmu kenapa, Sa?"
tanyaku waktu itu. sejenak kulihat kekagetan di wajah gadis itu. lengan yang
putih membuat memar itu terlihat sangat jelas.
"Ehm, gpp kok, Na. Cm kebentur
tangga aja." jawab Sasa di tengah kegugupannya. Entah kenapa aku menduga
kalau ada kebohongan di dalam getar suara Sasa. Tapi entah kenapa juga saat itu
aku tak punya keberanian untuk memberitahu Alex tentang hal itu.
sejak saat itu, semakin sering aku
melihat baik luka ataupun memar di tubuh Sasa. dan gadis itu selalu
menyembunyikanya dengan berbagai macam alasan tentang luka-luka itu. Sampai
suatu hari Alex menyadari ada bekas tamparan di pipi adiknya dengan sudut bibir
yang meninggalkan jejak darah kering. Dan pertengkaran hebatpun terjadi. Alex
yang sudah terpancing emosi segera membuat Darma babak belur dengan sukses,
sementara dua hari setelahnya Sasa meninggalkan rumah tanpa kabar. sampai hari
ini, tepat tiga bulan kemudian
"Lex...." panggilku
setelah lama terdiam di ruang tunggu menunggui dua orang yang sama-sama
terbaring lemah.
"Hmmm..." jawabnya
"Sebenarnya ada apa sih dengan
Sasa?” tanyaku hati-hati, “maksudku, aku tahu ini kondisi yang buruk untuk
Sasa, dan thanks God she is still alive.
Tapi pasti ada yg lebih dari itu hingga membuat mama menjadi begitu
shock." Alex terdiam mendengar pertanyaanku. Lama sekali lelaki itu
menahan jawaban diantara kepalan tangannya. Amarahnya membuat ruangan panjang
itu terasa begitu menakutkan. Aku tidak pernah melihat lelakiku semarah ini.
"Sasa hamil, Na.” jawab lelaki
disampingku, “tapi dia kehilangan bayinya sebelum kebakaran itu terjadi."
jawab Alex lemah. Aku terdiam. Informasi terbaru ini membuat aku kehilangan
kata. Atau mungkin aku kehilangan keberanian untuk berkata-kata. Kupeluk lelakiku
lebih kuat. Sekali lagi kepala yang selalu tegak itu bersembunyi di helai
rambutku. Sekali lagi ada basah di leherku.
“Pikirkan Sasa dulu ya, Lex,” kataku kemudian setelah
emosinya mereda, “be strong for her,” lelaki itu mengangguk dan aku menghela
sedikit nafas lega.
Sudah dua minggu aku bolak balik ke rumah sakit diantara
setumpuk pekerjaan yang padat merayap. Sasa mulai membaik secara fisik. Tapi hanya
fisik saja. Luka bakarnya tidak separah kelihatannya, masih bisa transplatasi
kata dokter. Tapi psikisnya memburuk. Hanya Alex yang bisa mendekatinya. Itupun
dengan susah payah.
“Dia ambil semuanya, mas!” hanya kalimat itu yang
berulang-ulang diucapkan Sasa dalam pelukan kakaknya. Lelakiku menatap mataku
dengan kemarahan yang tak bisa lagi kugambarkan. Dekapannya makin erat pada
Sasa. Aku sendiri hanya bisa menahan air mata dan sebisa mungkin tampak tegar.
“Aku sudah kontak anak-anak, Na,” kata Alex tiba-tiba
setelah Sasa diijinkan pulang. Aku tahu betul siapa “anak-anak” yang dimaksudnya.
Jaringan “pertemanan” lelaki ini tidak bisa dianggap main-main. Kalau cuma
sampah macam Darma, sampai dia sembunyi di kolong tikus pun teman-teman Alex
pasti akan menemukannya.
Aku beranjak dari tempat dudukku dan mulai ke dapur rumah
yang sudah sangat kukenal ini. Tak lama aku menyerahkan secangkir teh hangat
pada Alex. Saat seperti ini tak ada yang bisa menahan lelaki ini.
“Boleh aku meminta satu hal?” tanyaku hati-hati.
“Apa?” jawabnya dingin. Aku mengatup tangan yang sedang
menggenggam cangkir teh itu selembut mungkin.
“Apapun yang akan kamu lakukan, tolong jaga tangan ini
tetap bersih untukku,” bisikku pelan. Alex menatapku. Tatapannya tak lagi penuh
amarah. Aku menemukan kelembutan itu di sudutnya. Aku menemukan lagi lelakiku. Anggukannya
sedikit melegakanku.
“Iya,” katanya.
“Janji?” tanyaku sekali lagi.
“Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi aku janji,”
jawabnya meyakinkanku. Aku tersenyum lega.
“Aku pulang ya?” pamitku yang dijawabnya dengan anggukan
dan senyuman tipis.
R
Aku tersenyum.
Alex : I promise
Jariku bergerak ke atas layar smartphoneku.
Nara : Naja Shop, Rhabdophis
subminiatus, one bite in the pulse.
~retracted~
Kumasukan kembali smartphoneku kembali ke tempatnya. Aku tahu
Alex akan menepati janjinya.