Malam
kiat larut saja di kota besar di Jawa Tengah ini. Sebuah kota yang tak sebesar
Jakarta, tapi cukup sibuk untuk ukuran sebuah provinsi. Aku masih saja berjalan
menyusuri lorong-lorong kota lama sambil sesekali meneguk teh dingin dalam
botol yang kubawa. Vigo masih juga berjalan di sampingku. Kamera masih juga
menggantung di leher kami masing-masing. Sesekali lelaki itu menggenggam
tanganku terutama ketika aku mulai tidak aware kemana kakiku melangkah.
Intro
sebuah lagi terdengar sayup-sayup.
Lelaki
disampingku itu meraih smartphone yang bersarang di saku celananya. Sejenak obrolan
singkat terjadi dengan beberapa kode yang diucapkannya yang aku tak pernah
mengerti apa artinya. Tak berapa lama lelaki itu memasukkan kembali smartphone
itu dan menatapku.
“sorry,
tadi telp penting,” bisiknya sambil melingkarkan lengan pada bahuku yang jauh
lebih pendek darinya.
“kamu
harus pergi?” tanyaku pelan seperti biasa ketika ada panggilan-panggilan yang
mengharuskannya meninggalkanku
“gak,
dah beres kok. Cm tadi temen-temen ngajak ketemu”
“oh…”
dan lengan itu melepasku dan kembali ke kameranya sendiri, “kenapa kamu gak
pergi?” tanyaku sambil berjalan ke obyek lain.
“karena
mala mini untuk kamu,” jawabnya ringan.
“aku
bisa saja ikut,” kataku.
“ya
gak bisa lah,”
“kenapa?”
“bisa
bikin salah paham,”
“bukannya
sudah biasa?”
“aku
sudah punya dia. Aku gak mau teman-temanku mikir kamu pacarku,”
“kenapa?”
“katakan
saja ini batasnya,” aku berhenti dari semua aktivitasku, aku mematung tanpa
disadarinya, “aku bertemu denganmu, meluangkan waktu untukmu, jalan sama kamu,
sesekali menghabiskan malam bersamamu, itu batasan kita. Lagi pula kamu juga
sudah punya dia kan?”
Aku
menghela nafas. Setelah sekian lama “berteman” dengan lelaki ini, baru kali ini
dia memberikan batas wilayah untukku. Menegaskan batas yang tak boleh kulanggar
dengan alasan apapun. Vigo benar. Masing-masing dari kami sudah punya orang
lain. Seseorang yang cukup berharga untuk dipertahankan, dijaga, dan dicintai. Seseorang
yang selalu berada pada garis realitas.
Tapi
Vigo dan aku tak pernah menentukan batas kami. Bagaimanapun masing-masing dari
kami tahu aturan mainnya. Kami paham betul batas wilayah kami masing-masing. Tapi
Vigo tak pernah keberatan teman-temannya berpikir apapun tentang hubungan kami.
Lelaki ini tak pernah ambil pusing. Dan sekarang dia menekankan soal batas. Batasan
untukku seolah aku anak remaja kemarin sore yang menuntut eksistensi. Sial! Ingin
rasanya aku melempar kepala lelaki itu dengan batu terbesar yang bisa kuraih
demi membuatnya menyadari dengan siapa dia bicara.
“Drey?
Ada apa?” tanyanya ketika akhirnya dia menyadari aku tertinggal jauh. Aku membuang
nafas. Ya… aku tau aturannya aku tahu batasnya.
“gak
ada,” jawabku seringan mungkin sambil berjalan cepat kearahnya.
Malam
ini milikku. Malam ini, dia dan waktunya milikku.
“next
time, aku mau motret anggrek,” bisikku mengakhiri malam itu.
No comments:
Post a Comment