Wednesday, November 9, 2016

Kubunuh Dia Karena Cinta

(repost)
malam begitu larut saat beberapa orang kantor salah satu harian kotaku baru saja masuk ke gedung berlantai lima, yang memang biasa beraktivitas nyaris 24 jam penuh, termasuk aku. beberapa sapaan orang orang yang kulewati atau orang orang yang melewatiku terbalas sekedarnya demi mengejar deadline berita yang baru saja kuliput. begitu sampai meja kuletakkan tasku diatasnya dan mulai membuka lappy kesayanganku sebelum sapaan lembut play boy kantor cap tokek mampir ke mejaku.
"gimana liputannya Met?" tanya Bram dengan senyumnya yang sialnya manis banget itu.
"menurutmu gimana?" tanyaku balik, "kamu kan lebih berpengalaman dari pada aku, pasti kamu lebih tahu rasanya liputan kasus pembunuhan." lanjutku sambil mengeluarkan tape recorderku dari sarangnya di bodypack hitamku.
"setiap pembunuhan itu tidak hanya berbicara tentang cara atau metode, Met. yang terpenting adalah, dia mengungkap motive atau latar belakang pelaku melakukan pembunuhan itu. tapi sebagai seorang wartawati, kamu juga tidak boleh terlibat dengan pelaku atau object liputanmu, itu akan mempengaruhi obyektivitasmu. kamu harus mempelajari ini mulai sekarang, mumpung kamu masih calon wartawati." petuahnya panjang lebar. kalimat terakhirnya menyadarkanku dengan posisiku.

aku memang mahasiswi jurusan sastra yang sedang magang di kantor itu. setelah satu bulan hanya mengurus translate artikel yang membosankan, akhirnya sore tadi pimred memintaku menggantikan tugas seorang wartawati senior yang sedang cuti untuk melakukan liputan. tapi entah setan yang lari dari neraka atau malaikat kabur dari surga yang merasuki pimredku sehingga aku diserahi liputan pembunuhan yang baru saja terjadi sore tadi. dan sialnya kameramenku yang baik hati bernama Abraham Wicaksono alias Bram si play boy kantor cap tokek yang baru saja mengganggu ku itu ada tugas untuk mengambil gambar di tempat lain dan hanya menemaniku beberapa menit di kantor polisi.
jujur saja, kantor polisi bukanlah tempat yang nyaman untuk di datangi. aku berani sumpah kesamber gledek tujuh turunan untuk hal satu ini. apalagi kalau kantor itu sedang penuh dengan orang berwajah yang menurutku menakutkan. image yang terlanjur kubangun untuk tempat yang disebut kantor polisi benar2 menyebalkan dan intolerable.
tapi saat melihat perempuan yang terduduk di sudut sel itu image itu berubah. perempuan itu menurut polisi yang bertugas saat itu bernama Marini, berasal dari sebuah kawasan elite kota tempatku belajar ini. siang tadi dia datang ke kantor polisi itu dan berkata telah membunuh anaknya dan meninggalkan anaknya di rumah di dalam kamar. dengan rambut sebahu dan baju indah dan aku tahu mahal membalut tubuhnya yang langsing, perempuan itu terlihat cantik. jauh dari image seorang pembunuh atau konsep pembunuh yang ada di otakku. polisi yang bertugas saat itu mengizinkan aku bicara dengan perempuan itu sambil mewanti wanti kalau ada apa2 aku harus segera memanggil petugas yang berjaga karena mereka belum yakin dengan kondisi kejiwaan perempuan itu.
"nama mbak siapa?" tanya perempuan bernama Marini itu mengejutkanku. seharusnya aku lah yang mulai bertanya padanya.
"Meta. saya wartawati." jawabku
"saya tahu. " sambil menunjuk pada pers id yang kupakai. perempuan ini sepertinya cukup terpelajar, batinku. "nama saya Marini."
"Kenapa mbak Marini membunuh putri mbak?" tanyaku sesopan mungkin sambil berusaha mengontrol emosiku saat itu semnetara tanganku sibuk menempatkan recorderku.
"karena aku mencintainya. karena aku harus menyelamatkan hidupnya." keningku berkerut. bukan cara yang wajar untuk menyelamatkan hidup seseorang dengan membunuhnya.
"aku menikahi lelaki itu. sepuluh tahun kuhabiskan waktu bersamanya. dan kami bahagia, Met." dia mulai bercerita, "boleh aku panggil kamu Meta?" aku mengangguk.
"Kami bahagia, Met. pernikahan yang megah, dihadiri seluruh anggota keluarga dan teman teman istimewa, dan bulan madu yang luar biasa. sepuluh tahun aku merasa pernikahanku sempurna. apalagi di tambah aku hamil setelah sekian lama menunggu. sampai delapan bulan yang lalu. bulan ke dua masa kehamilanku, kesempurnaan itu runtuh. hari itu aku pingsan. lelaki itu membawaku ke rumah sakit untuk perawatan. satu minggu kemidian dokter memberi kabar itu. aku tak hanya positif hamil, tapi juga positif HIV." aku tehenyak mendengar kisahnya.
"aku bingung, Met. virginitasku terjaga hanya untuk dia, dan sepuluh tahun aku setia. lalu dari mana datangnya bencana ini?" aku terdiam. kami berdua tahu jawabannya.
"aku bukan orang bodoh , Met. aku tahu bayi yang ada di perutku berpotensi besar mengidap virus yang sama. dan bisa kau bayangkan hidupnya Met? harus minum obat yang sma setiap hari seumur hidup, harus menghadapi penolakkan dimana2, tidak punya teman, apa lagi sahabat, dan dia perempuan Met, sama seperti aku dan kamu. lelaki mana yang mau menikahi perempuan yang bisa meracuni dan membunuh keturunannya? tidak ada, Met. tidak ada.
"aku berusaha menggugurkannya. dia tidak boleh mengalami penderitaan itu. anakku tidak berhak menderita sedalam itu. anakku tidak boleh terluka. tapi dia bertahan. dia bertahan di dalam sana. seolah melawan segala yang telah kuberikan untuk menghilangkannya. dan dia lahir. lelaki itu menggendongnya. dia bahagia. dan Maria, anakku, tersenyum. Maria tidak tahu bahwa dia akan menderita. tapi dia tak boleh menderita Met. "
aku tercenung. sesaat sebelum petugas kantor polisi memberitahuku bahwa waktuku sudah habis. kumatikan recorderku dan menatap Marini yang dibawa pergi seorang petugas wanita.
"terima kasih Met." katanya. "terima kasih." senyumnya mengembang.

aku mendengarkan kembali rekaman yang tertangkap recorderku. dan masih tidak bisa berbuat apa apa di depan lappyku yang masih menyala menghabiskan baterynya dengan percuma. Bram kembali mampir di mejaku.
"mau ikut ke kantor polisi atau aku saja yang pergi?" tanyanya.
"ada apa lagi? orang g bisa nunggu sehari untuk bikin berita kriminal ya?" gerutuku pada Bram karena mengganggu konsentrasiku yang lebih tepat dinamakan lamunanku.
"Marini, object beritamu, bunuh diri di sel. ternyata dia menyimpan obat tidur dosis tinggi di tubuhnya." aku terhenyak. aku tak mendengar lagi sisa kalimat Bram.