Wednesday, November 9, 2016

Kubunuh Dia Karena Cinta

(repost)
malam begitu larut saat beberapa orang kantor salah satu harian kotaku baru saja masuk ke gedung berlantai lima, yang memang biasa beraktivitas nyaris 24 jam penuh, termasuk aku. beberapa sapaan orang orang yang kulewati atau orang orang yang melewatiku terbalas sekedarnya demi mengejar deadline berita yang baru saja kuliput. begitu sampai meja kuletakkan tasku diatasnya dan mulai membuka lappy kesayanganku sebelum sapaan lembut play boy kantor cap tokek mampir ke mejaku.
"gimana liputannya Met?" tanya Bram dengan senyumnya yang sialnya manis banget itu.
"menurutmu gimana?" tanyaku balik, "kamu kan lebih berpengalaman dari pada aku, pasti kamu lebih tahu rasanya liputan kasus pembunuhan." lanjutku sambil mengeluarkan tape recorderku dari sarangnya di bodypack hitamku.
"setiap pembunuhan itu tidak hanya berbicara tentang cara atau metode, Met. yang terpenting adalah, dia mengungkap motive atau latar belakang pelaku melakukan pembunuhan itu. tapi sebagai seorang wartawati, kamu juga tidak boleh terlibat dengan pelaku atau object liputanmu, itu akan mempengaruhi obyektivitasmu. kamu harus mempelajari ini mulai sekarang, mumpung kamu masih calon wartawati." petuahnya panjang lebar. kalimat terakhirnya menyadarkanku dengan posisiku.

aku memang mahasiswi jurusan sastra yang sedang magang di kantor itu. setelah satu bulan hanya mengurus translate artikel yang membosankan, akhirnya sore tadi pimred memintaku menggantikan tugas seorang wartawati senior yang sedang cuti untuk melakukan liputan. tapi entah setan yang lari dari neraka atau malaikat kabur dari surga yang merasuki pimredku sehingga aku diserahi liputan pembunuhan yang baru saja terjadi sore tadi. dan sialnya kameramenku yang baik hati bernama Abraham Wicaksono alias Bram si play boy kantor cap tokek yang baru saja mengganggu ku itu ada tugas untuk mengambil gambar di tempat lain dan hanya menemaniku beberapa menit di kantor polisi.
jujur saja, kantor polisi bukanlah tempat yang nyaman untuk di datangi. aku berani sumpah kesamber gledek tujuh turunan untuk hal satu ini. apalagi kalau kantor itu sedang penuh dengan orang berwajah yang menurutku menakutkan. image yang terlanjur kubangun untuk tempat yang disebut kantor polisi benar2 menyebalkan dan intolerable.
tapi saat melihat perempuan yang terduduk di sudut sel itu image itu berubah. perempuan itu menurut polisi yang bertugas saat itu bernama Marini, berasal dari sebuah kawasan elite kota tempatku belajar ini. siang tadi dia datang ke kantor polisi itu dan berkata telah membunuh anaknya dan meninggalkan anaknya di rumah di dalam kamar. dengan rambut sebahu dan baju indah dan aku tahu mahal membalut tubuhnya yang langsing, perempuan itu terlihat cantik. jauh dari image seorang pembunuh atau konsep pembunuh yang ada di otakku. polisi yang bertugas saat itu mengizinkan aku bicara dengan perempuan itu sambil mewanti wanti kalau ada apa2 aku harus segera memanggil petugas yang berjaga karena mereka belum yakin dengan kondisi kejiwaan perempuan itu.
"nama mbak siapa?" tanya perempuan bernama Marini itu mengejutkanku. seharusnya aku lah yang mulai bertanya padanya.
"Meta. saya wartawati." jawabku
"saya tahu. " sambil menunjuk pada pers id yang kupakai. perempuan ini sepertinya cukup terpelajar, batinku. "nama saya Marini."
"Kenapa mbak Marini membunuh putri mbak?" tanyaku sesopan mungkin sambil berusaha mengontrol emosiku saat itu semnetara tanganku sibuk menempatkan recorderku.
"karena aku mencintainya. karena aku harus menyelamatkan hidupnya." keningku berkerut. bukan cara yang wajar untuk menyelamatkan hidup seseorang dengan membunuhnya.
"aku menikahi lelaki itu. sepuluh tahun kuhabiskan waktu bersamanya. dan kami bahagia, Met." dia mulai bercerita, "boleh aku panggil kamu Meta?" aku mengangguk.
"Kami bahagia, Met. pernikahan yang megah, dihadiri seluruh anggota keluarga dan teman teman istimewa, dan bulan madu yang luar biasa. sepuluh tahun aku merasa pernikahanku sempurna. apalagi di tambah aku hamil setelah sekian lama menunggu. sampai delapan bulan yang lalu. bulan ke dua masa kehamilanku, kesempurnaan itu runtuh. hari itu aku pingsan. lelaki itu membawaku ke rumah sakit untuk perawatan. satu minggu kemidian dokter memberi kabar itu. aku tak hanya positif hamil, tapi juga positif HIV." aku tehenyak mendengar kisahnya.
"aku bingung, Met. virginitasku terjaga hanya untuk dia, dan sepuluh tahun aku setia. lalu dari mana datangnya bencana ini?" aku terdiam. kami berdua tahu jawabannya.
"aku bukan orang bodoh , Met. aku tahu bayi yang ada di perutku berpotensi besar mengidap virus yang sama. dan bisa kau bayangkan hidupnya Met? harus minum obat yang sma setiap hari seumur hidup, harus menghadapi penolakkan dimana2, tidak punya teman, apa lagi sahabat, dan dia perempuan Met, sama seperti aku dan kamu. lelaki mana yang mau menikahi perempuan yang bisa meracuni dan membunuh keturunannya? tidak ada, Met. tidak ada.
"aku berusaha menggugurkannya. dia tidak boleh mengalami penderitaan itu. anakku tidak berhak menderita sedalam itu. anakku tidak boleh terluka. tapi dia bertahan. dia bertahan di dalam sana. seolah melawan segala yang telah kuberikan untuk menghilangkannya. dan dia lahir. lelaki itu menggendongnya. dia bahagia. dan Maria, anakku, tersenyum. Maria tidak tahu bahwa dia akan menderita. tapi dia tak boleh menderita Met. "
aku tercenung. sesaat sebelum petugas kantor polisi memberitahuku bahwa waktuku sudah habis. kumatikan recorderku dan menatap Marini yang dibawa pergi seorang petugas wanita.
"terima kasih Met." katanya. "terima kasih." senyumnya mengembang.

aku mendengarkan kembali rekaman yang tertangkap recorderku. dan masih tidak bisa berbuat apa apa di depan lappyku yang masih menyala menghabiskan baterynya dengan percuma. Bram kembali mampir di mejaku.
"mau ikut ke kantor polisi atau aku saja yang pergi?" tanyanya.
"ada apa lagi? orang g bisa nunggu sehari untuk bikin berita kriminal ya?" gerutuku pada Bram karena mengganggu konsentrasiku yang lebih tepat dinamakan lamunanku.
"Marini, object beritamu, bunuh diri di sel. ternyata dia menyimpan obat tidur dosis tinggi di tubuhnya." aku terhenyak. aku tak mendengar lagi sisa kalimat Bram.

Sunday, October 9, 2016

Mocca

Kling!
Suara tanda seseorang masuk ke kedai kopi di Jl. Letjen Suprapto itu berdenting. Damar, sang barista sekaligus pemilik tempat itu, baru saja menggiling sedikit biji kopi yang baru saja selesai dirostingnya pagi itu. Lelaki berperawakan tinggi sekitar 175 cm itu menghentikan langkahnya ketika mendapati perempuan yang selalu ditunggunya setiap pagi memasuki kedai kopinya. Perempuan chubby dengan tinggi tak lebih dan tak kurang dari 160 cm itu memamerkan sepasang lesung pipi di pipinya sambil melangkah menuju meja bar.
“Pagi, Nin!” sapa Damar ramah.
“Pagi,” balas perempuan bernama Anin itu sembari mulai mengeluarkan potongan cake tiramisu dari dalam kotak.
“Cuma 16, Nin?” tanya Damar menghitung sekilas cake yang baru saja keluar dan masih terlihat cantik di atas paper cup.
“Iya, seperti biasa,” jawab Anin santai.
“Tidak mau tambah lagi? Banyak yang suka lho,” Anin tersenyum kembali. Sepasang lesung pipi itu selalu tampak manis untuk Damar.
“Ini kiriman terakhir ya, mas.”
“Eh? Maksudnya bagaimana?” kening Damar berkerut dengan sukses.
“Ya besok aku sudah tidak buat lagi,” Anin mencoba menjelaskan.
“Kenapa?” tanya Damar lagi.
“Kopinya habis mas,” jawab Anin, “Sudah ya mas, nanti malam aku ambil uangnya seperti biasa. Mau berangkat kerja dulu,” pamit gadis itu sambil ngeloyor pergi sebelum Damar bereaksi apa-apa.
Damar menatap kosong pada 16 tiramisu cake yang kini berjajar di meja bar. Warna cokelat tua dengan aroma kopi ule kareng membuat lelaki itu jatuh cinta pada cake ini saat suapan pertamanya hampir setahun yang lalu. Cream dan base cake yang seolah meleleh di mulut dan hanya meninggalkan jejak pahit manis seolah menambah cinta itu. Adalah Bella, sepupunya, yang memperkenalkannya pada manis-pahitnya dessert khas Italia itu. Saat itu Bella iseng pesan tiramisu cake seloyang besar dari instagram saat ulang tahunnya sendiri dan membaginya dengan Damar dan para pegawainya. Lembutnya cream vanilla yang manis dan cake yang kopi banget membuat Damar memaksa ingin bertemu dengan sang pemilik akun  @kuemanisku itu.
****
Pertemuan pertama mereka dibuat oleh Bella juga dengan memesan seloyang cake lagi dan langsung COD di kedai kopi Damar. Dan saat itu pula lelaki itu mengenal Anindya Putri. Perempuan muda usia hampir 30 yang seolah menghadapi hidupnya dengan sejumlah keisengan belaka, termasuk tiramisu cake yang hanya dibuat jika ada yang memesan saja. Tanpa berpikir ulang, Damar menawarkan kerja sama yang anehnya diterima dengan alot oleh Anin. Bahkan Damar terpaksa menyetujui bahwa bisa saja tiramisu cake itu tidak selalu ada dan bahwa perempuan itu tidak mau mengambil kembali cake yang tersisa. Syarat yang aneh dan beresiko untuk sebuah usaha yang tidak besar seperti kedai kopinya sekaligus usaha cake milik Anin karena perempuan itu hanya mau menerima uang hasil penjualan yang sudah dikurangi komisi. Perempuan satu ini seolah tak ingin tahu dengan segala perhitungan untung ruginya. Untung saja cake itu hampir selalu habis jadi Damar tak perlu memusingkan apapun berkaitan dengan itu.
Dan sekarang sudah hampir satu tahun kerja sama itu terjalin. Damar sudah begitu terbiasa dengan kehadiran Anin di kedainya. Lelaki itu sudah begitu terbiasa melihat perempuan chubby itu masuk ke kedainya tepat jam 9 pagi. Damar terbiasa dengan senyum yang memerkan sepasang lesung pipi di pipi bulat perempuan itu sama terbiasanya dengan sepotong tiramisu yang dinikmatinya begitu Anin melewati pintu kedainya.
“Kamu jatuh cinta,” begitu komentar Bella suatu kali di kedai kopi Damar setelah genap satu bulan Anin benar-benar menghentikan kiriman tiramisunya. Sepupunya yang kuliah psikologi itu memang sering sok-sokan berubah menjadi psikiater amatir untuk para anggota keluarga dan kali itu Damar lah yang menjadi korban.
“Pada siapa?” tanya Damar berusah cuek.
“Pada Anindya Putri Dewanti,” jawab Bella sambil menyuapkan spaghetti bolognaise buatan pegawai kedai ke mulutnya.
“Ngawur!” balas Damar sembari melempar kain lap cangkir ke arah sepupunya. Bella kemudian tertawa puas. Dan sepanjang malam itu Damar memikirkan ocehan singkat Bella.
****
“Sebenarnya aku tidak paham, Dam” celetuk Bella suatu kali.
“Tidak paham apa?” tanya Damar acuh.
“Apa sih yang kamu cari?” tanya Bella, “Damar Dian Pratama, mapan, cerdas, keluarga yang baik, dan bisa dibilang sukses. Lalu apa lagi yang kamu cari?” lanjut Bella dengan gayanya yang lebai[dot]com itu.
“Maksud kamu apa sih Bel?” Damar mulai berkutat dengan kopinya seperti yang dilakukannya setiap kali dia gusar.
“kamu tahu maksudku, Dam” jawab Bella pelan. Damar menghela nafas. Lelaki itu mulai menuangkan air ke filter kopinya. Aroma harum yang selalu dia suka sekaligus selalu berhasil menenangkannya menguar memenuhi indra penciumannya.
“Aku akan jatuh cinta lagi, Bel” jawab lelaki itu, “pada waktunya nanti,”
Bella menghela nafas. Lelaki ini membuat orang-orang disekitarnya kuatir. Setelah penghianatan Laras sepuluh tahun lalu, tak ada kisah tentang perempuan lain penggantinya. Yang ada adalah kisah-kisah tentang perjalanan yang seolah tak ingin diselesaikannya. Bahkan saat kedai kopi miliknya dibangun. Bukan berarti lelaki ini masih mencintai Laras. Bella yang paling tahu bahwa kisah itu sudah benar-benar selesai. Rasa itu sudah netral. Tapi Damar memang tak mudah menambatkan hati seperti juga sepasang kakinya yang tak pernah menancap di satu tempat.
“Kalau kamu belum menemukan alasan untuk pulang, setidaknya buatlah tempat untuk pulang” pesan Bella saat itu. Kalimat itu pula yang membuat Damar membuka kedai kopi di sudut kota lama yang merupakan salah satu asset terbengkalai keluarganya. Tempat untuk sekedar pulang.

Sekarang Damar memikirkan kembali pesan itu. Keping memori di otaknya dengan sadis mengulang kalimat itu dan pernyataan Bella bergantian. Tapi kalau benar dia jatuh cinta pada Anin, lalu apa? Lelaki itu nyaris tak tahu apa-apa tentang perempuan yang di ponselnya diberi nama tiramisu girl itu. Nama itu tampil dengan jelas lengkap dengan gambar sepotong tiramisu cake sebagai display picture bbmnya.
Damar  : “Ping!”
Anin    : “yup?”
Damar  : “lama gak mampir kedai”
Anin    : “iya”
Damar  : “gak kangen?”
Anin    : “Kangen siapa?”
Damar  : “kangen aku misalnya?”
Anin    : (laughing emoticon) gak
Damar  : “tapi aku kangen”
Anin    : “sama?”
Damar  : “tiramisu cake kamu”
Anin    : (smile) “sudah tidak buat tiramisu. Sudah ganti menu”
Damar  : “apa menu barunya?”
Anin    : “chocolate roll cake”
Damar  : “order satu dong”
Anin    : “untuk kapan?”
Damar  : “besok?”
Anin    : “malam ya?’
Damar  : “ok”

Kling!
Suara itu terdengar untuk kesekian kalinya malam itu di kedai Damar diikuti ucapan selamat datang dari para pegawainya. Malam yang sibuk tapi entah kenapa hatinya tak tenang. Sudah empat kali Damar salah membuat pesanan dan membuat para pegawainya bingung. Wajah tegang lelaki itu berhias senyum tipis yang nyaris tak terlihat ketika bayangan Anin tertangkap matanya.
“Sibuk, mas?” tanya Anin
“Lumayan,” jawab Damar. Senyum terlihat di sepasang matanya. Tak berapa lama sepasang manusia itu sudah duduk di teras lantai dua kedai itu.
“Bagaimana?” tanya Anin usai Damar menghabiskan potongan pertamanya.
“Yummy,” puji Damar, “chocolate mouse nya lembut banget. Bolunya juga gak terlalu manis. Aku suka,”
“Syukurlah,” senyum mengembang memamerkan sepasang lesung pipi yang selalu dirindukan Damar dengan sukses.
“Nin,” bisik Damar pelan.
“Hmm?” gumam Anin.
“Kenapa ganti cokelat?” tanya Damar
“Kan aku sudah cerita, kopinya habis,” jawab Anin santai.
“Kalau cuma masalah kopi, aku bisa sediakan untuk kamu,” desak Damar.
Anin menghela nafasnya sendiri. Dari wajahnya tersirat dia tidak ingin bercerita lebih banyak. Tapi Damar menunggu. Lelaki di depannya terus menunggu sambil menyuapkan sedikit demi sedikit seloyang roll cake di depannya. Dan kisah itu meluncur seperti air bah yang sudah terlalu lama dibendung. Kisah tentang seorang pria penggemar kopi yang berusaha memperkenalkan serbuk hitam itu pada seorang gadis pecinta cokelat. Serbuk hitam yang hampir selalu berakhir dengan asam lambung akut di akhir sesapannya. Kisah tentang pria yang menyerah menjelang hari pernikahan dan meninggalkan sekaleng ule kareng yang siap diseduh.
Damar terpaku. Langkah ringan dan senyum perempuan didepannya menipu semua orang dengan sukses. Siapa yang menyangka perempuan yang banyak senyum itu menyimpan luka dan serpihan hatinya sendiri.
“Tiramisu itu hanya cara agar kopi itu cepat habis, mas,” tutup Anin, “setiap adonan dan setiap potongannya adalah kenangan yang ingin kubuang. Katakanlah ini terapiku menutup luka yang dia buat. Tiramisu terakhir adalah batas waktu yang kutetapkan untuk kembali pada diriku sendiri,”
Damar menatap senyum lembut perempuan di depannya. Masih ada getir di sepasang mata berkacamata minus itu. Tapi senyum itu tulus juga. Tiba-tiba Damar tertawa. Derai tawa yang membuat Anin bingung.
“Apa yang lucu sih mas?” tanya perempuan itu. Ekspresi bingung di wajah Anin membuat Damar makin keras tertawa. Tawanya makin menjadi ketika disadarinya Bella akan tertawa menang saat menagih traktirannya nanti.
“Tunggu di sini sebentar ya, Nin,” kata lelaki itu ketika tawanya mereda. Damar bangkit dari duduknya dan meninggalkan Anin yang masih bingung tapi tak urung menuruti perkataan Damar untuk tinggal.
Tak lama Damar datang lagi dengan segelas minuman ditangannya. Lelaki itu meletakkan minuman beraroma kopi bercampur vanilla di depan Anin yang masih saja bingung. Damar tersenyum.
“Aku gak minum kopi, mas,” kata Anin bingung.
“Coba dulu,” bujuk Damar. Entah karisma Damar, atau senyumnya yang membuat Anin menyerah mencicip minuman itu.
“Jadi?” tanya Damar singkat.
“Manis, lembut, cokelatnya terasa, tapi wangi kopi. Es krim vanillanya juga enak banget. Enak,” jawab Anin.
“Nin, aku berharap bisa memperkenalkan kopi-kopi beraroma nikmat seperti ini padamu,” kata Damar serius, “tapi aku tak bisa memaksa dan tidak ingin memaksa. Aku hanya bisa menawarkan jalan tengah untuk cokelatmu dan kopiku. Aku menawarkan mocca untuk kita. Maukah kamu menerimanya?”
Anin menatap Damar. Ada keseriusan di sepasang matanya. Perempuan itu tertunduk. Sejujurnya ada ragu itu untuk hatinya sendiri. Siapkah hatinya mengambil resiko lagi? Siapkah dia terluka lagi? Siapkah dia jatuh cinta lagi?
“Boleh buat bikin kue?” tanya Anin dengan senyum isengnya yang membuat Damar tergelak lalu mendaratkan ciuman di jari kekasih barunya.

Wednesday, September 7, 2016

ini agamaku urus sendiri agamamu

yang mau baca silahkan baca, yang mau komen silahkan komen, tapi ini sekedar unek-unek pribadi. 

duh dari judulnya sama kalimat awalnya kok hawane dah BT tingkat kecamatan ya. tapi serius gondok banget sih kalau sudah nyerempet soal seperti ini.
ceritanya kemarin dapat cerita dari kanjeng mami yang bikin hawa-hawa bikin kulit jadi tipis.
kanjeng mami kebetulan disambati oleh tetangga yang mau mantu kemarin. keluarga itu memang keluarga muslim dan kebetulan mempelai wanitanya juga berjilbab. dan karena kami tetangga baik dan terbiasa saling nyambat ya dengan senang hati bapak sama ibu dengan senang hati membantu. karena tahu kami dari keluarga non muslim, yang punya hajat juga sudah menghubungi pihak perias (yang ternyata teman ibu waktu muda) agar ibu dirias berbeda mengenakan kebaya biasa dan sanggul. 
menurut cerita kanjeng mami sih dah disuruh kumpul jam 7 pagi nan untuk dirias. tiba-tiba si ibu RT *gak jelas* bilang kalau yang dirias yang pakai jilbab. ibuku dengan santai ya nunggu saja dan cuma bilang "iya, gak pa pa" eh si ibu RT ajaib ini malah bilang, "ya mbak di jilbabin aja sekalian," ibuku kaget katanya tapi masih santai bilang kalau gak perlu. bukannya diam si ibu itu malah nambahin "kan anaknya juga sudah muslim dan berjilbab, ayahnya kan juga namanya mochamad," titik itu ibuku gak bisa diam. agak keras ibu bilang kalau memang kami sekeluarga beda-beda dan kalau itu tidak bisa diterima dan memang dipaksakan berjilbab mungkin lebih baik ibu gak usah jadi among tamu juga gak papa.
masalah diredakan dengan kedatangan perias yang langsung bilang kalau untuk ibu memang dibedakan sesuai pesanan yang punya hajat. karena si ibu RT aneh plus gak jelas dikalikan ajaib itu diam ya sudah ibuku diam juga.
dapat cerita seperti itu rasanya pengen njahit mulut si ibu RT itu. sebagai keluarga katolik, keluarga kami memang minoritas. dalam 1 rt yang berisi 50 kk, cuma ada 3 keluarga katolik. bertahun-tahun hampir tidak ada masalah besar yang menyangkut agama. keluarga kami juga cukup aktif di lingkungan RT dan cukup dikenal di kelurahan karena bapak dan ibu memang aktivis sejak masih muda. seumur-umur baru sekali ini disinggung soal agama.
keluarga kami memang beragam. dalam keluarga besar masing-masing, hanya ibu dan almarhumah budhe yang katolik, sementara bapak satu-satunya katolik dalam keluarga besarnya. ketika adekku menjadi mualaf, menjadi Islam, dan bahkan berhijab dan berusaha syar i, sebagai keluarga kami memberikan dukungan penuh meskipun prosesnya tidak mudah. ketika saya berniat untuk menikahi seorang muslim meskipun gak jadi tanpa berubah agama pun keluarga terdekat saya tidak mempermasalahkan. bagi kami agama adalah urusan kami pribadi dengan apa yang kami percaya dan Tuhan. yang harus digaris bawahi di sini bahwa tidak ada satupun dari keluarga kami yang saling mempengaruhi. setiap orang punya pandangan masing-masing, iman masing-masing, dan jalan keselamatan masing-masing.
terlebih soal hijab, buat saya setiap orang berhak memilih termasuk apa yang mau dikenakannya. mau pakai burqa, mau pakai hijab, mau pakai rok mini, mau pakai bikini juga terserah selama itu adalah pilihannya sendiri. jadi ya jangan memaksa untuk mengenakan apa yang tidak ingin kami kenakan.
setahu saya dalam Islam ada kalimat bagimu agamamu dan bagiku agamaku. buat saya, ini agamaku, urus sendiri agamamu. jika menjadi Islam, berhijab, sholat dan lain-lain adalah jalan baikmu dan jalan keselamatanmu, bukan  berarti jalan itu berlaku untuk semua orang.

Wednesday, July 20, 2016

mendaras doa

Kudaraskan doa
Kata demi kata
Butir demi butir salam maria
Dalam sunyi tanpa cahaya

Masih ada
Masih terasa
Pedihnya
Lukanya
Sakitnya

Dan air mata ini tak kunjung usai
Meski baginya sudah tak ada derai

Sunday, July 10, 2016

the little girl in the mirror

Dalam cermin hatiku
Ada cahaya maya
Mungkin milik senja yang tersisa
Atau fajar yang menunggu sang waktu

Dan di sudut itu
Kutemukan dirimu
Gadis kecil yang sama
Yang diam dan masuk cangkang saat terluka

Di sudut itu
Kutemukan dirimu
Menangis sejenak dalam tempurungmu
Lalu membisikan doa terbaik dalam diammu

Kulihat lagi cahaya maya dari cermin sukma
Fajar kah? Atau senja?
Gadis yang sama
Kamu? Atau aku yang di sana?

Saturday, April 30, 2016

Ajari Aku

Ini bukan tentang rindu
Ini juga bukan tentang benci
Ini bukan pula tentang pedih
Atau pun luka

Ini bukan tentang rasa
Ini bukan pula tentang berharap
Ini bukan pula tentang cinta
Atau pun sunyi

Ini hanya tentang kenangan
Yang masih saja tersimpan
Dan kadang mengusik

Ini tentang cara melupakanku
Mau kah kau mengajariku?

Sunday, January 24, 2016

Moisturizing Lipstick by Mineral Botanica

kali ini mau ngobrolin lipstick baru ah...
kemarin ada teman nawarin brand lipstick baru nih. brand lokal Indonesia yang punya judul Mineral Botanica. sebenarnya sudah lumayan lama juga dengar nama brand ini cuma belum pernah nemu barangnya. alasan lain karena entah kenapa beberapa tahun terakhir aku agak alergian ma lipstik dengan gejala yang random, mulai dari yang gatel sampai yang tau-tau berasa perih gak jelas. kemudian sodara yang kebetulan tinggal di Jerman recomend sebuah brand dari sana yang katanya natural product. si mbak ini juga yang recomend untuk mulai beralih ke produk natural. nah berhubung teman saya itu bilang Mineral Botanica ini natural product jadi ya cobain aja. hehehe :p

kali ini saya mencoba moisturizing lipsticknya. kenapa? karena bibir aku itu kering banget dan males banget pakai lip balm. hehehehe. kemasanya lucu sih, kaya crayon gitu. trus casingnya dof jadi kesannya lebih classy (menurutku lho). 


tampilannya seperti ini

ada 15 warna yang tersedia. kebetulan lagi suka warna pink natural makanya pilih warna ini. warnanya cocok sama kulit aku yang tanning (tanning ya bukan hitam :p). meskipun di katalog warnanya labelnya nude cream. sengaja pilih warna ini biar kalau ditimpa dengan lipstick warna lain gak aneh. hehehe


  
warnanya seperti ini.

+
kalau buat aku lipstick ini cukup recomend. dilabelnya si paraben free dan terbukti gak bikin alergi.
warnanya gak glossy meskipun moisturizing, warnanya cenderung matte jadi lebih natural.
casingnya yang seperti crayon lucu :p
harga cuma Rp. 44k. terjangkau lah untuk ukuran lipstick :p


-
kalau kamu cari lipstick yang tahan lama, jangan beli yang ini. lipstick ini sama sekali gak tahan lama. dipakai makan juga udah lewat warnanya


Thursday, January 21, 2016

Mengingat Saltah

pagi ini gak tahu kenapa tiba-tiba ingat salah satu makanan yang seumur2 cm makan 2x.
jadi tahun 2011 punya kesempatan "main" ke Yaman. nah, makanan ini adalah salah satu makanan tradisional dari Yaman. nama makanan ini Saltah. 
Saltah ini biasanya dimakan untuk lunch. tapi kali kedua aku makan untuk dinner (pas datang undangan dinner dari temen kantornya saudara). dua kali makan saltah warnanya mirip. warnanya antara kecoklatan dengan sedikit warna hijau ditengah gitu. menurut tuan  rumah dan pemandu (waktu makan pertama kali), Saltah ini dibuat dari sayuran yang dimasak jadi satu di semacam piring tanah liat gitu. meskipun dibuat dari campuran sayur, gak ada rasa sayurnya sama sekali. jadi asumsiku semua bahan dimasak sampai hancur. gak kebayang deh berapa lama masaknya. biasanya saltah dimakan pakai flat bread.
seperti juga hampir semua makanan tradisional, saltah punya cita rasa berbeda untuk setiap keluarga sepertinya. pertama kali, kami (aku n keluarga) makan di salah satu restoran saltah paling ramai di sana'a. di sini ada rasa agak pahit. pahitnya tuh kayak kita makan sambel ijo padang itu. kali kedua, ya pas diundang makan itu. dan masakan rumah memang lebih enak rasanya. saltah di rumah itu rasanya halus. pedesnya halus dan cenderung gurih. aku suka saltah yang versi rumah tangga ini.
hmm, mungkin saya perlu jalan-jalan lagi *toyor kepala sendiri*

kira-kira bentuk saltah seperti ini. 
gambarnya nyomot dari 
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/1b/Saltah.gif/250px-Saltah.gif

biasanya dimakan dengan flat bread seperti ini
gambar diambil dari
http://images2.villagevoice.com/imager/u/original/6542690/img_6302v.jpg