Sunday, October 9, 2016

Mocca

Kling!
Suara tanda seseorang masuk ke kedai kopi di Jl. Letjen Suprapto itu berdenting. Damar, sang barista sekaligus pemilik tempat itu, baru saja menggiling sedikit biji kopi yang baru saja selesai dirostingnya pagi itu. Lelaki berperawakan tinggi sekitar 175 cm itu menghentikan langkahnya ketika mendapati perempuan yang selalu ditunggunya setiap pagi memasuki kedai kopinya. Perempuan chubby dengan tinggi tak lebih dan tak kurang dari 160 cm itu memamerkan sepasang lesung pipi di pipinya sambil melangkah menuju meja bar.
“Pagi, Nin!” sapa Damar ramah.
“Pagi,” balas perempuan bernama Anin itu sembari mulai mengeluarkan potongan cake tiramisu dari dalam kotak.
“Cuma 16, Nin?” tanya Damar menghitung sekilas cake yang baru saja keluar dan masih terlihat cantik di atas paper cup.
“Iya, seperti biasa,” jawab Anin santai.
“Tidak mau tambah lagi? Banyak yang suka lho,” Anin tersenyum kembali. Sepasang lesung pipi itu selalu tampak manis untuk Damar.
“Ini kiriman terakhir ya, mas.”
“Eh? Maksudnya bagaimana?” kening Damar berkerut dengan sukses.
“Ya besok aku sudah tidak buat lagi,” Anin mencoba menjelaskan.
“Kenapa?” tanya Damar lagi.
“Kopinya habis mas,” jawab Anin, “Sudah ya mas, nanti malam aku ambil uangnya seperti biasa. Mau berangkat kerja dulu,” pamit gadis itu sambil ngeloyor pergi sebelum Damar bereaksi apa-apa.
Damar menatap kosong pada 16 tiramisu cake yang kini berjajar di meja bar. Warna cokelat tua dengan aroma kopi ule kareng membuat lelaki itu jatuh cinta pada cake ini saat suapan pertamanya hampir setahun yang lalu. Cream dan base cake yang seolah meleleh di mulut dan hanya meninggalkan jejak pahit manis seolah menambah cinta itu. Adalah Bella, sepupunya, yang memperkenalkannya pada manis-pahitnya dessert khas Italia itu. Saat itu Bella iseng pesan tiramisu cake seloyang besar dari instagram saat ulang tahunnya sendiri dan membaginya dengan Damar dan para pegawainya. Lembutnya cream vanilla yang manis dan cake yang kopi banget membuat Damar memaksa ingin bertemu dengan sang pemilik akun  @kuemanisku itu.
****
Pertemuan pertama mereka dibuat oleh Bella juga dengan memesan seloyang cake lagi dan langsung COD di kedai kopi Damar. Dan saat itu pula lelaki itu mengenal Anindya Putri. Perempuan muda usia hampir 30 yang seolah menghadapi hidupnya dengan sejumlah keisengan belaka, termasuk tiramisu cake yang hanya dibuat jika ada yang memesan saja. Tanpa berpikir ulang, Damar menawarkan kerja sama yang anehnya diterima dengan alot oleh Anin. Bahkan Damar terpaksa menyetujui bahwa bisa saja tiramisu cake itu tidak selalu ada dan bahwa perempuan itu tidak mau mengambil kembali cake yang tersisa. Syarat yang aneh dan beresiko untuk sebuah usaha yang tidak besar seperti kedai kopinya sekaligus usaha cake milik Anin karena perempuan itu hanya mau menerima uang hasil penjualan yang sudah dikurangi komisi. Perempuan satu ini seolah tak ingin tahu dengan segala perhitungan untung ruginya. Untung saja cake itu hampir selalu habis jadi Damar tak perlu memusingkan apapun berkaitan dengan itu.
Dan sekarang sudah hampir satu tahun kerja sama itu terjalin. Damar sudah begitu terbiasa dengan kehadiran Anin di kedainya. Lelaki itu sudah begitu terbiasa melihat perempuan chubby itu masuk ke kedainya tepat jam 9 pagi. Damar terbiasa dengan senyum yang memerkan sepasang lesung pipi di pipi bulat perempuan itu sama terbiasanya dengan sepotong tiramisu yang dinikmatinya begitu Anin melewati pintu kedainya.
“Kamu jatuh cinta,” begitu komentar Bella suatu kali di kedai kopi Damar setelah genap satu bulan Anin benar-benar menghentikan kiriman tiramisunya. Sepupunya yang kuliah psikologi itu memang sering sok-sokan berubah menjadi psikiater amatir untuk para anggota keluarga dan kali itu Damar lah yang menjadi korban.
“Pada siapa?” tanya Damar berusah cuek.
“Pada Anindya Putri Dewanti,” jawab Bella sambil menyuapkan spaghetti bolognaise buatan pegawai kedai ke mulutnya.
“Ngawur!” balas Damar sembari melempar kain lap cangkir ke arah sepupunya. Bella kemudian tertawa puas. Dan sepanjang malam itu Damar memikirkan ocehan singkat Bella.
****
“Sebenarnya aku tidak paham, Dam” celetuk Bella suatu kali.
“Tidak paham apa?” tanya Damar acuh.
“Apa sih yang kamu cari?” tanya Bella, “Damar Dian Pratama, mapan, cerdas, keluarga yang baik, dan bisa dibilang sukses. Lalu apa lagi yang kamu cari?” lanjut Bella dengan gayanya yang lebai[dot]com itu.
“Maksud kamu apa sih Bel?” Damar mulai berkutat dengan kopinya seperti yang dilakukannya setiap kali dia gusar.
“kamu tahu maksudku, Dam” jawab Bella pelan. Damar menghela nafas. Lelaki itu mulai menuangkan air ke filter kopinya. Aroma harum yang selalu dia suka sekaligus selalu berhasil menenangkannya menguar memenuhi indra penciumannya.
“Aku akan jatuh cinta lagi, Bel” jawab lelaki itu, “pada waktunya nanti,”
Bella menghela nafas. Lelaki ini membuat orang-orang disekitarnya kuatir. Setelah penghianatan Laras sepuluh tahun lalu, tak ada kisah tentang perempuan lain penggantinya. Yang ada adalah kisah-kisah tentang perjalanan yang seolah tak ingin diselesaikannya. Bahkan saat kedai kopi miliknya dibangun. Bukan berarti lelaki ini masih mencintai Laras. Bella yang paling tahu bahwa kisah itu sudah benar-benar selesai. Rasa itu sudah netral. Tapi Damar memang tak mudah menambatkan hati seperti juga sepasang kakinya yang tak pernah menancap di satu tempat.
“Kalau kamu belum menemukan alasan untuk pulang, setidaknya buatlah tempat untuk pulang” pesan Bella saat itu. Kalimat itu pula yang membuat Damar membuka kedai kopi di sudut kota lama yang merupakan salah satu asset terbengkalai keluarganya. Tempat untuk sekedar pulang.

Sekarang Damar memikirkan kembali pesan itu. Keping memori di otaknya dengan sadis mengulang kalimat itu dan pernyataan Bella bergantian. Tapi kalau benar dia jatuh cinta pada Anin, lalu apa? Lelaki itu nyaris tak tahu apa-apa tentang perempuan yang di ponselnya diberi nama tiramisu girl itu. Nama itu tampil dengan jelas lengkap dengan gambar sepotong tiramisu cake sebagai display picture bbmnya.
Damar  : “Ping!”
Anin    : “yup?”
Damar  : “lama gak mampir kedai”
Anin    : “iya”
Damar  : “gak kangen?”
Anin    : “Kangen siapa?”
Damar  : “kangen aku misalnya?”
Anin    : (laughing emoticon) gak
Damar  : “tapi aku kangen”
Anin    : “sama?”
Damar  : “tiramisu cake kamu”
Anin    : (smile) “sudah tidak buat tiramisu. Sudah ganti menu”
Damar  : “apa menu barunya?”
Anin    : “chocolate roll cake”
Damar  : “order satu dong”
Anin    : “untuk kapan?”
Damar  : “besok?”
Anin    : “malam ya?’
Damar  : “ok”

Kling!
Suara itu terdengar untuk kesekian kalinya malam itu di kedai Damar diikuti ucapan selamat datang dari para pegawainya. Malam yang sibuk tapi entah kenapa hatinya tak tenang. Sudah empat kali Damar salah membuat pesanan dan membuat para pegawainya bingung. Wajah tegang lelaki itu berhias senyum tipis yang nyaris tak terlihat ketika bayangan Anin tertangkap matanya.
“Sibuk, mas?” tanya Anin
“Lumayan,” jawab Damar. Senyum terlihat di sepasang matanya. Tak berapa lama sepasang manusia itu sudah duduk di teras lantai dua kedai itu.
“Bagaimana?” tanya Anin usai Damar menghabiskan potongan pertamanya.
“Yummy,” puji Damar, “chocolate mouse nya lembut banget. Bolunya juga gak terlalu manis. Aku suka,”
“Syukurlah,” senyum mengembang memamerkan sepasang lesung pipi yang selalu dirindukan Damar dengan sukses.
“Nin,” bisik Damar pelan.
“Hmm?” gumam Anin.
“Kenapa ganti cokelat?” tanya Damar
“Kan aku sudah cerita, kopinya habis,” jawab Anin santai.
“Kalau cuma masalah kopi, aku bisa sediakan untuk kamu,” desak Damar.
Anin menghela nafasnya sendiri. Dari wajahnya tersirat dia tidak ingin bercerita lebih banyak. Tapi Damar menunggu. Lelaki di depannya terus menunggu sambil menyuapkan sedikit demi sedikit seloyang roll cake di depannya. Dan kisah itu meluncur seperti air bah yang sudah terlalu lama dibendung. Kisah tentang seorang pria penggemar kopi yang berusaha memperkenalkan serbuk hitam itu pada seorang gadis pecinta cokelat. Serbuk hitam yang hampir selalu berakhir dengan asam lambung akut di akhir sesapannya. Kisah tentang pria yang menyerah menjelang hari pernikahan dan meninggalkan sekaleng ule kareng yang siap diseduh.
Damar terpaku. Langkah ringan dan senyum perempuan didepannya menipu semua orang dengan sukses. Siapa yang menyangka perempuan yang banyak senyum itu menyimpan luka dan serpihan hatinya sendiri.
“Tiramisu itu hanya cara agar kopi itu cepat habis, mas,” tutup Anin, “setiap adonan dan setiap potongannya adalah kenangan yang ingin kubuang. Katakanlah ini terapiku menutup luka yang dia buat. Tiramisu terakhir adalah batas waktu yang kutetapkan untuk kembali pada diriku sendiri,”
Damar menatap senyum lembut perempuan di depannya. Masih ada getir di sepasang mata berkacamata minus itu. Tapi senyum itu tulus juga. Tiba-tiba Damar tertawa. Derai tawa yang membuat Anin bingung.
“Apa yang lucu sih mas?” tanya perempuan itu. Ekspresi bingung di wajah Anin membuat Damar makin keras tertawa. Tawanya makin menjadi ketika disadarinya Bella akan tertawa menang saat menagih traktirannya nanti.
“Tunggu di sini sebentar ya, Nin,” kata lelaki itu ketika tawanya mereda. Damar bangkit dari duduknya dan meninggalkan Anin yang masih bingung tapi tak urung menuruti perkataan Damar untuk tinggal.
Tak lama Damar datang lagi dengan segelas minuman ditangannya. Lelaki itu meletakkan minuman beraroma kopi bercampur vanilla di depan Anin yang masih saja bingung. Damar tersenyum.
“Aku gak minum kopi, mas,” kata Anin bingung.
“Coba dulu,” bujuk Damar. Entah karisma Damar, atau senyumnya yang membuat Anin menyerah mencicip minuman itu.
“Jadi?” tanya Damar singkat.
“Manis, lembut, cokelatnya terasa, tapi wangi kopi. Es krim vanillanya juga enak banget. Enak,” jawab Anin.
“Nin, aku berharap bisa memperkenalkan kopi-kopi beraroma nikmat seperti ini padamu,” kata Damar serius, “tapi aku tak bisa memaksa dan tidak ingin memaksa. Aku hanya bisa menawarkan jalan tengah untuk cokelatmu dan kopiku. Aku menawarkan mocca untuk kita. Maukah kamu menerimanya?”
Anin menatap Damar. Ada keseriusan di sepasang matanya. Perempuan itu tertunduk. Sejujurnya ada ragu itu untuk hatinya sendiri. Siapkah hatinya mengambil resiko lagi? Siapkah dia terluka lagi? Siapkah dia jatuh cinta lagi?
“Boleh buat bikin kue?” tanya Anin dengan senyum isengnya yang membuat Damar tergelak lalu mendaratkan ciuman di jari kekasih barunya.

2 comments: