Wednesday, July 12, 2017

Single Bite

Siang di kota Semarang masih saja sepanas biasanya ketika bulan Juni memulai harinya. Aku sendiri masih berada di luar sebuah ruang ICU salah satu rumah sakit terbaik dan terbesar di kota ini. Di sampingku seorang pria sedikit diatas usiaku masih saja mendekap seorang perempuan setengah baya yang terus saja terisak.
"Pokoknya mama gak terima Lex, dia harus di hukum seberat beratnya! Mama ga terima Sasa jadi begini." kata perempuan itu di tengah isaknya yang tak juga mereda sementara lelaki yang kukenal bernama Alexander itu hanya membelai pelan rambut perempuan dalam dekapannya.
Sejenak aku menatap keduanya sebelum mataku bertemu dengan mata hitam lelaki itu. Aku tahu, ditengah tubuh tegap yang kini mencoba tegar memeluk sang mama tercinta, lelaki itu menyimpan kepedihan yang sama sekaligus kemarahan yang aku tahu juga cukup mengerikan untuk mengirim seseorang ke kamar jenazah rumah sakit ini.
"Siang tante, Lex, maaf baru bisa ke sini." sapaku pelan takut mengganggu pasangan ibu dan anak itu.
"Na..." hanya itu yang terucap dr bibir perempuan yang kukenal dengan nama tante Mia itu sebelum akhirnya perempuan itu pingsan di pelukan Alex.
"Ini sudah ketiga kalinya mama pingsan sejak tadi pagi, Na. Mama benar-benar shock." kata Alex pelan di sebuah ruang perawatan tempat mamanya di rawat.
"Bagaimana dengan Sasa, Lex?" tanyaku.
"Dia masih belum sadar sejak di bawa kemari. Setengah dari tubuhnya menderita luka bakar serius." jawab lelaki itu dengan kepala menunduk dan tangan terkepal kuat. " bisa kamu bayangkan, Na? Sasa dulu begitu cantik, tapi sekarang dia...." kalimat itu menggantung seiring tatapan matanya yang seolah menghujam ke mataku. Tapi bola mata itu basah. Basah oleh air mata kepedihan dan kemarahan yang amat sangat. Akhirnya kupeluk juga lelaki yang sudah dua tahun menjadi lelaki yang paling dekat denganku setelah almarhum papa.
Dan tangis itupun pecah di bahuku. Tangis yang tak pernah sekalipun kulihat selama hampir tiga tahun perkenalan kami. "Aku akan membuat perhitungan dengannya, Na! Dia harus merasakan apa yang dirasakan Sasa!" bisiknya di tengah isakan tertahan itu.

Aku mengenal Sasa dan keluarganya sekitar 3 tahun saat aku di semester akhir kuliah S1ku. Dari Sasa juga aku mengenal Alex, kakak kandung semata wayangnya. Sasa juga yang dengan sekuat tenaga menjodohkan aku dengan Alex. Aku mengenal mereka berdua sebagai pribadi yang kuat. Sasa memang sedikit manja pada Alex. Wajar bagiku karena mereka hanya dua bersaudara. Sasa juga termasuk gadis yang cantik, dengan wajah tirus, bermata bulat hitam yang kontras dengan wajahnya yang putih. Secara personal, Sasa juga gadis yang ceria, pandai bergaul, dan bukan tipe gadis yang pilih2. Kekurangan calon adik iparku hanya satu, saat sedang jatuh cinta, dia menjadi benar2 bodoh.
Dan begitu juga saat dia berkenalan dengan Darma, seorang pemuda dengan wajah tampan yang telihat lembut. Begitu lembutnya sampai aku dan Alex merasa mereka berdua cukup serasi untuk jalan bersama. sampai suatu hari aku melihat memar di lengan kiri Sasa saat berenang bersama.
"Lenganmu kenapa, Sa?" tanyaku waktu itu. sejenak kulihat kekagetan di wajah gadis itu. lengan yang putih membuat memar itu terlihat sangat jelas.
"Ehm, gpp kok, Na. Cm kebentur tangga aja." jawab Sasa di tengah kegugupannya. Entah kenapa aku menduga kalau ada kebohongan di dalam getar suara Sasa. Tapi entah kenapa juga saat itu aku tak punya keberanian untuk memberitahu Alex tentang hal itu.
sejak saat itu, semakin sering aku melihat baik luka ataupun memar di tubuh Sasa. dan gadis itu selalu menyembunyikanya dengan berbagai macam alasan tentang luka-luka itu. Sampai suatu hari Alex menyadari ada bekas tamparan di pipi adiknya dengan sudut bibir yang meninggalkan jejak darah kering. Dan pertengkaran hebatpun terjadi. Alex yang sudah terpancing emosi segera membuat Darma babak belur dengan sukses, sementara dua hari setelahnya Sasa meninggalkan rumah tanpa kabar. sampai hari ini, tepat tiga bulan kemudian

"Lex...." panggilku setelah lama terdiam di ruang tunggu menunggui dua orang yang sama-sama terbaring lemah.
"Hmmm..." jawabnya
"Sebenarnya ada apa sih dengan Sasa?” tanyaku hati-hati, “maksudku, aku tahu ini kondisi yang buruk untuk Sasa, dan thanks God she is still alive. Tapi pasti ada yg lebih dari itu hingga membuat mama menjadi begitu shock." Alex terdiam mendengar pertanyaanku. Lama sekali lelaki itu menahan jawaban diantara kepalan tangannya. Amarahnya membuat ruangan panjang itu terasa begitu menakutkan. Aku tidak pernah melihat lelakiku semarah ini.
"Sasa hamil, Na.” jawab lelaki disampingku, “tapi dia kehilangan bayinya sebelum kebakaran itu terjadi." jawab Alex lemah. Aku terdiam. Informasi terbaru ini membuat aku kehilangan kata. Atau mungkin aku kehilangan keberanian untuk berkata-kata. Kupeluk lelakiku lebih kuat. Sekali lagi kepala yang selalu tegak itu bersembunyi di helai rambutku. Sekali lagi ada basah di leherku.
“Pikirkan Sasa dulu ya, Lex,” kataku kemudian setelah emosinya mereda, “be strong for her,” lelaki itu mengangguk dan aku menghela sedikit nafas lega.

Sudah dua minggu aku bolak balik ke rumah sakit diantara setumpuk pekerjaan yang padat merayap. Sasa mulai membaik secara fisik. Tapi hanya fisik saja. Luka bakarnya tidak separah kelihatannya, masih bisa transplatasi kata dokter. Tapi psikisnya memburuk. Hanya Alex yang bisa mendekatinya. Itupun dengan susah payah.
“Dia ambil semuanya, mas!” hanya kalimat itu yang berulang-ulang diucapkan Sasa dalam pelukan kakaknya. Lelakiku menatap mataku dengan kemarahan yang tak bisa lagi kugambarkan. Dekapannya makin erat pada Sasa. Aku sendiri hanya bisa menahan air mata dan sebisa mungkin tampak tegar.

“Aku sudah kontak anak-anak, Na,” kata Alex tiba-tiba setelah Sasa diijinkan pulang. Aku tahu betul siapa “anak-anak” yang dimaksudnya. Jaringan “pertemanan” lelaki ini tidak bisa dianggap main-main. Kalau cuma sampah macam Darma, sampai dia sembunyi di kolong tikus pun teman-teman Alex pasti akan menemukannya.
Aku beranjak dari tempat dudukku dan mulai ke dapur rumah yang sudah sangat kukenal ini. Tak lama aku menyerahkan secangkir teh hangat pada Alex. Saat seperti ini tak ada yang bisa menahan lelaki ini.
“Boleh aku meminta satu hal?” tanyaku hati-hati.
“Apa?” jawabnya dingin. Aku mengatup tangan yang sedang menggenggam cangkir teh itu selembut mungkin.
“Apapun yang akan kamu lakukan, tolong jaga tangan ini tetap bersih untukku,” bisikku pelan. Alex menatapku. Tatapannya tak lagi penuh amarah. Aku menemukan kelembutan itu di sudutnya. Aku menemukan lagi lelakiku. Anggukannya sedikit melegakanku.
“Iya,” katanya.
“Janji?” tanyaku sekali lagi.
“Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi aku janji,” jawabnya meyakinkanku. Aku tersenyum lega.
“Aku pulang ya?” pamitku yang dijawabnya dengan anggukan dan senyuman tipis.

R
Aku tersenyum.
Alex    : I promise
Jariku bergerak ke atas layar smartphoneku.
Nara    : Naja Shop, Rhabdophis subminiatus, one bite in the pulse.
~retracted~

Kumasukan kembali smartphoneku kembali ke tempatnya. Aku tahu Alex akan menepati janjinya.