Tuesday, January 31, 2017

Grebeg Sudiro – Sebuah Dialog Budaya

Indonesia adalah sebuah negara multi etnis. Salah satu etnis yang memiliki sejarah panjang di negeri ini adalah etnis tionghoa. Tidak hanya secara ekonomi, budaya –budaya masyarakat peranakan tionghoa mempengaruhi banyak kebudayaan Indonesia. Salah satunya adalah festival Imlek yang diadakan di berbagai daerah dengan kultur budaya tionghoa yang kuat.

Bagi warga solo pasti tidak asing dengan yang namanya Grebeg Sudiro. Bagi warga yang dari luar Solo seperti saya, well, perlu browsing dan tanya – tanya dulu. Hehehe.

Jadi apa itu Grebeg Sudiro?
Kalau orang Jawa pasti tahu apa itu grebeg. Grebeg adalah sebuah tradisi bagi masyarakat Jawa untuk menyambut acara-acara besar seperti Maulud Nabi dan Suro (Tahun Baru Jawa). Umumnya acara grebeg diawali dengan doa dan puncak acaranya adalah perebutan gunungan yagn biasanya berisi hasil bumi. Hasil bumi berbentuk gunungan ini biasanya adalah sedekah dari keraton untuk masyarakat sebagai bentuk syukur kepada Tuhan. Masyarakat Jawa, terutama sekitar keraton, percaya bahwa jika kita mendapatkan bagian dari gunungan tersebut (meskipun cuma lidinya saja) bisa mendapatkan berkah tersendiri.

Lalu bagaimana dengan Grebeg Sudiro? Dalam Grebeg Sudiro gunungan yang biasanya berisi hasil bumi berganti dengan ribuan kue kranjang, kue khas masyarakat etnis tionghoa saat menyambut tahun baru Imlek, yang diarak sepanjang kawasan Sudiroprajan. Kawasan Sudiroprajan sendiri adalah sebuah kelurahan di kecamatan Jebres di kota Solo. Kawasan ini merupakan kawasan yang ditempati oleh warga China peranakan. Di kawasan ini mereka hidup berdampingan  dengan masyarakat Jawa.
Proses arak-arakan Grebeg Sudiro diikuti gabungan kesenian tradisional tionghoa seperti liong dan barongsai, serta kesenian jawa seperti tarian tradisional dan reog. Bahkan kesenian-kesenian kontempores juga turut mengisi perarakan ini.  Arak-arakan ini akan berhenti di depan Klenteng Tien Kok sie di Pasar Gede. Perayaan ini juga mengawali dinyalakannya lentera atau lampion-lampion untuk menyambut Tahun Baru Imlek.
lampion di depan jendela Pasar Gede
Berbeda dengan Grebeg  Suro yang merupakan sebuah budaya dari masa lalu, Grebeg Sudiro adalah sebuah tradisi baru. Perayaan ini dimulai tahun 2007, meniru perayaan Grebeg Suro.  Meskipun begitu perayaan ini bukanlah perayaan yang tiba-tiba ada. Perayaan Grebeg Sudiro yang sudah dimulai sejak tujuh hari menjelang Tahun Baru Imlek ini adalah lanjutan dari tradisi lama yang disebut Buk Teko. Menurut Wikipedia, Buk Teko adalah sebuah tradisi syukuran menjelang Tahun Baru Imlek. Tradisi lama ini sudah dirayakan sejak Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono X (1893-1939).

Tahun 2017 ini, karnaval budaya Grebeg Sudiro diadakan pada hari minggu tanggal 22 Januari 2017. Acara perarakan ini dimulai pukul 12.00. Puncak acara perarakan ini dalah pembagian kue kranjang kepada masyarakat yang hadir mengikuti prosesi ini. Pada malam tahun baru Imlek acara ditutup dengan pesta kembang api di kawasan Pasar Gede.
lampion ayam

the rooster dan bapak-bapak PM yang jaga

persiapan barongsai

mencari jalan untuk persiapan tampil para penari barongsai

the dragon dance (liong)

band yang lagu-lagunya asik dan ajaib :D

pesta kembang api

pesta kembang api yang total 20 menit

para pengunjung 
Untuk saya yang berasal dari Semarang, perayaan Imlek bukan hal baru sebenarnya. Yang membuat Grebeg Sudiro ini terasa berbeda justru karena saya tidak melihat sesuatu yang “China banget” di acara ini. Acara ini benar-benar menjadi sebuah akulturasi budaya. Sebuah dialog budaya antar etnis yang tercipta dengan elegan. Jika di pasar Semawis Semarang, kita akan mendapatkan suasana seperti pasar malam di sebuah kawasan pecinan, mulai dari pedagang sampai lagu-lagunya, dan tentu saja para om-om, tante-tante, dan para eyang yang ikut acara karaoke. Sementara di Grebeg Sudiro saya nyaris tidak menemukan pedagang dari etnis Tionghoa. Sepanjang saya melihat hanya ada pedagang kecil biasa. Bahkan saya tidak menemukan penjual pork yang biasanya ada di Pasar Semawis Semarang. Buat saya ini menarik. Bahkan band yang menemani pengunjung menunggu pesta kembang api pun lagunya tidak ada yang lagu mandarin, setidaknya selama saya muter-muter di sekitar kawasan Pasar Gede dari jam 22.00 sampai kembang api selesai. Selain lampion beraneka bentuk dan aroma dupa yang selalu menyenangkan untuk saya, hanya ada tarian lion dan barongsai penanda budaya Tionghoa yang terlihat.

Sebagai agenda tahunan, acara Grebeg Sudiro ini not bad. Not bad at all.
PS: bikin saya pengen ke festival imlek lain di Indonesia *crossing fingers*



Source : https://id.m.wikipedia.org/wiki/Grebeg_Sudiro
Foto: dokumen pribadihttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Grebeg_Sudiro

Sunday, January 29, 2017

Masjid Kota Gede


 Jogja tak pernah kehabisan tempat untuk melempar saya pada kenangan-kenangan sejarah. Kali ini kenangan itu bernama Masjid Kota Gede.

Seperti namanya, masjid ini berada di pusat kerajinan perak Jogja, Kota Gede. Masjid ini berada di sudut kawasan kota gede, berdekatan dengan pasar. Konon, masjid ini usianya jauh lebih tua dari Masjid Agung di kauman. Bahkan masjid Agung adalah versi besar dari Masjid Kota Gede.
gerbang depan masjid

ornamen tugu jam halaman masjid
bangunan masjid. di atas gerbang tertulis 1856 dan 1926
pintu ke serambi masjid

Bangunan Masjid Kota Gede bisa kita lewati ketika kita akan berkunjung ke makam raja-raja mataram. Entah kenapa saya suka masjid ini. Meskipun bangunan lama tapi tidak ada kesan singup. Kalau mesjid agung di alun-alun punya kesan megah dan gagah, tapi buat saya masjid ini memberi efek tenang. Banyaknya pohon juga memberi kesan sejuk yang mebuat nyaman. Gak malu, dah tidur di emper masjid saya. Hehehe
penghalang antara gerbang dan bangunan masjid. melihat tipe penghalang seperti ini di bali

kolam di sekeliling masjid

kolam di sekeliling masjid


Di belakang masjid terdapat komplek makam para founding father Kerajaan Mataram Islam, diantaranya Ki Gee Pemanhan, Panembahan Senopati, dan Panembahan Hanyakrawati (Seda ing Krapyak). Kompleks makam ini tidak setiap hari dibuka. Area pemakaman hanya dibuka pada hari minggu, senin, kami, dan jumat setiap jam 10.00 -13.00 WIB. Hari lain dan bulan Ramadhan area pemakaman ditutup. Kalau yang berniat ke makam bisa datang saat hari-hari tersebut dan menghubungi sekertariat untuk menyewa baju tradisional (wajib ini) dan tidak boleh ambil foto di area makam. Sedikit mengintip ke area makam, kijing pada makam terbuat dari batu-batu hitam. Kebanyakan sudah berlumut karena fakto usia. Aura singup ketika mengintip membuat saya ingin buru-buru menutup pintunya. Mungkin terpengaruh karena itu makam dan warna hitam batu-batu makamnya. Apa lagi pintunya juga hitam.
gapura ke arah makam dan sendang

gapura dari dalam


can you read it?

gapura ke makam

pintu ke makam
Di sebelah barat daya terdapat sepasang sendang yang disebut sendang kakung dan sendang putri. Saya membayangkan sepasang sendang ini pasti indah pada jaman dulu. Bahkan ketika tempat ini menjadi situs sejarah pun masih terasa keindahannya. Sendang kakung cukup terbuka dan bisa langsung dilihat ketika kita melewati gerbang sendang seliran. Sementara sendang putri meskipun letaknya lurus dengan gerbang tapi tempatnya lebih tertutup.
sendang kakung
sendang kakung
 
kolam sendang kakung
                                   
sendang putri
kolam sendang putri
semacam kamar mandi di sendang putri

Kesan pertama mengunjungi situs bersejarah ini selain tenang adalah bersih. Dengan begitu banyak pohon, kebersihannya patut diacungi jempol. Aroma dupa meski tak kuat dan sisa-sisa bunga tabur kering juga masih menghiasi beberapa sudut tempat ini.
sisa bunga dan dupa
bersih. bahkan sampah daun saja tidak ada
bangsal kencur - bisa dipakai untuk istirahat setelah mandi di sendang putri-
  

Untuk yang mau mampir bisa datang kapan saja.
HTM free
parkir motor: 1000
isi buku tamu di sekeratriat: sukarela
daftar jam buka

hormati peraturan ya :)


Tuesday, January 24, 2017

Istirahatlah Kata-kata; Sebuah Melodi Tanpa Coda

Awal minggu ini berkesempatan memberi sedikit vitamin pada otak yang sedang jenuh. Terima kasih untuk yang sudah rela menemani dan mengurangi jam tidur demi nomat. I really appreciate it.

huft.....
yang berniat menonton film ini untuk refreshing, lupakan saja. film ini tidak ada refreshnya blas.
"makanya yang nonton dikit mbak," *ngomong ma diri sendiri*
kalau yang melihat jadwal nonton di 21cineplex akan melihat ini sebagai film biografi. menurut saya sih gak sepenuhnya biografi. buat saya lebih cocok dibilang kisah pelarian.

film ini berkisah tentang proses pelarian seorang penyair bernama Wiji Thukul sejak insiden kerusuhan 27 Juli 1996 yang melibatkan PRD pada masa orba. lelaki sederhana ini meninggalkan semua yang dimilikinya karena puisi-puisinya yang menyerang pemerintah. kata-kata yang jujur yang mewakili kebosanan rakyat pada rezim bobrok yang hanya gemilang di luar tapi penuh borok di dalam. rezim milik the smiling general.

tak seperti film-film populer, film ini tenang, terlalu tenang pada moment-moment tertentu. seperti sebuah meditasi visual. tidak ada music yang menghentak, tidak ada gambar yang fantastis, tidak ada make up yang ajaib. film ini bersih. kalau saya bilang film ini seperti seduhan green tea diantara asupan radikal bebas sinetron TV gak jelas. yang ada di film ini adalah alunan puisi dari sepasang mitraliur tak sempurna. 

partner nonton saya berkomentar bahwa film ini membuat dia merasa seperti kembali ke saat-saat dia menjadi bagian dari pergerakan 1998. saya tidak punya pembanding yang sama karena saat itu saya hanya merasakan efek jauh. saya tidak terlibat periode itu. tapi entah kenapa saya merasa memahami kengerian sekaligus heroismenya. kisah-kisah yang saya dengar dari keluarga dekat cukup membuat saya seolah ada di sana. 

ketika film berakhir, kami tak juga beranjak. rasanya seperti butuh jeda untuk bernafas. rasanya seperti mendengarkan lagu yang terus meninggi tanpa ada ritme closing. seperti melodi yang tak punya coda. dan emosimu terlanjur ada di atas. kata partner nonton saya, film ini endingnya gak jelas. buat saya film ini memang tak seharusnya punya ending kita sang tokoh yang diceritakan hingga sekarang tak tahu apakah sudah berakhir atau tidak.

"aku tidak ingin kamu pergi, tapi aku juga tidak ingin kamu tinggal. aku hanya ingin kamu ada"
-sipon- 

ISTIRAHATLAH KATA-KATA

istirahatlah kata-kata
jangan menyembur-nyembur
orang-orang bisu

kembalilah ke dalam rahim
segala tangis dan kebusukan
dalam sunyi yang mengiris
tempat orang-orang mengingkari
menahan ucapannya sendiri

tidurlah kata-kata
kita bangkit nanti
menghimpun tuntutan-tuntutan
yang miskin papa dan dihancurkan

nanti kita akan mengucapkan
bersama tindakan
bikin perhitungan

tak bisa lagi ditahan-tahan

solo, sorogenen,

12 agustus 1988

copied from here