Kling!
Suara
tanda seseorang masuk ke kedai kopi di Jl. Letjen Suprapto itu berdenting.
Damar, sang barista sekaligus pemilik tempat itu, baru saja menggiling sedikit
biji kopi yang baru saja selesai dirostingnya pagi itu. Lelaki berperawakan
tinggi sekitar 175 cm itu menghentikan langkahnya ketika mendapati perempuan
yang selalu ditunggunya setiap pagi memasuki kedai kopinya. Perempuan chubby
dengan tinggi tak lebih dan tak kurang dari 160 cm itu memamerkan sepasang
lesung pipi di pipinya sambil melangkah menuju meja bar.
“Pagi,
Nin!” sapa Damar ramah.
“Pagi,”
balas perempuan bernama Anin itu sembari mulai mengeluarkan potongan cake
tiramisu dari dalam kotak.
“Cuma
16, Nin?” tanya Damar menghitung sekilas cake yang baru saja keluar dan masih
terlihat cantik di atas paper cup.
“Iya,
seperti biasa,” jawab Anin santai.
“Tidak
mau tambah lagi? Banyak yang suka lho,” Anin tersenyum kembali. Sepasang lesung
pipi itu selalu tampak manis untuk Damar.
“Ini
kiriman terakhir ya, mas.”
“Eh?
Maksudnya bagaimana?” kening Damar berkerut dengan sukses.
“Ya
besok aku sudah tidak buat lagi,” Anin mencoba menjelaskan.
“Kenapa?”
tanya Damar lagi.
“Kopinya
habis mas,” jawab Anin, “Sudah ya mas, nanti malam aku ambil uangnya seperti
biasa. Mau berangkat kerja dulu,” pamit gadis itu sambil ngeloyor pergi sebelum
Damar bereaksi apa-apa.
Damar
menatap kosong pada 16 tiramisu cake yang kini berjajar di meja bar. Warna
cokelat tua dengan aroma kopi ule kareng membuat lelaki itu jatuh cinta pada
cake ini saat suapan pertamanya hampir setahun yang lalu. Cream dan base cake
yang seolah meleleh di mulut dan hanya meninggalkan jejak pahit manis seolah
menambah cinta itu. Adalah Bella, sepupunya, yang memperkenalkannya pada
manis-pahitnya dessert khas Italia itu. Saat itu Bella iseng pesan tiramisu
cake seloyang besar dari instagram saat ulang tahunnya sendiri dan membaginya
dengan Damar dan para pegawainya. Lembutnya cream vanilla yang manis dan cake
yang kopi banget membuat Damar memaksa ingin bertemu dengan sang pemilik akun @kuemanisku itu.
****
Pertemuan
pertama mereka dibuat oleh Bella juga dengan memesan seloyang cake lagi dan
langsung COD di kedai kopi Damar. Dan saat itu pula lelaki itu mengenal Anindya
Putri. Perempuan muda usia hampir 30 yang seolah menghadapi hidupnya dengan
sejumlah keisengan belaka, termasuk tiramisu cake yang hanya dibuat jika ada
yang memesan saja. Tanpa berpikir ulang, Damar menawarkan kerja sama yang
anehnya diterima dengan alot oleh Anin. Bahkan Damar terpaksa menyetujui bahwa
bisa saja tiramisu cake itu tidak selalu ada dan bahwa perempuan itu tidak mau
mengambil kembali cake yang tersisa. Syarat yang aneh dan beresiko untuk sebuah
usaha yang tidak besar seperti kedai kopinya sekaligus usaha cake milik Anin
karena perempuan itu hanya mau menerima uang hasil penjualan yang sudah
dikurangi komisi. Perempuan satu ini seolah tak ingin tahu dengan segala
perhitungan untung ruginya. Untung saja cake itu hampir selalu habis jadi Damar
tak perlu memusingkan apapun berkaitan dengan itu.
Dan
sekarang sudah hampir satu tahun kerja sama itu terjalin. Damar sudah begitu
terbiasa dengan kehadiran Anin di kedainya. Lelaki itu sudah begitu terbiasa
melihat perempuan chubby itu masuk ke kedainya tepat jam 9 pagi. Damar terbiasa
dengan senyum yang memerkan sepasang lesung pipi di pipi bulat perempuan itu
sama terbiasanya dengan sepotong tiramisu yang dinikmatinya begitu Anin
melewati pintu kedainya.
“Kamu
jatuh cinta,” begitu komentar Bella suatu kali di kedai kopi Damar setelah
genap satu bulan Anin benar-benar menghentikan kiriman tiramisunya. Sepupunya
yang kuliah psikologi itu memang sering sok-sokan berubah menjadi psikiater
amatir untuk para anggota keluarga dan kali itu Damar lah yang menjadi korban.
“Pada
siapa?” tanya Damar berusah cuek.
“Pada
Anindya Putri Dewanti,” jawab Bella sambil menyuapkan spaghetti bolognaise
buatan pegawai kedai ke mulutnya.
“Ngawur!”
balas Damar sembari melempar kain lap cangkir ke arah sepupunya. Bella kemudian
tertawa puas. Dan sepanjang malam itu Damar memikirkan ocehan singkat Bella.
****
“Sebenarnya
aku tidak paham, Dam” celetuk Bella suatu kali.
“Tidak
paham apa?” tanya Damar acuh.
“Apa
sih yang kamu cari?” tanya Bella, “Damar Dian Pratama, mapan, cerdas, keluarga
yang baik, dan bisa dibilang sukses. Lalu apa lagi yang kamu cari?” lanjut
Bella dengan gayanya yang lebai[dot]com itu.
“Maksud
kamu apa sih Bel?” Damar mulai berkutat dengan kopinya seperti yang
dilakukannya setiap kali dia gusar.
“kamu
tahu maksudku, Dam” jawab Bella pelan. Damar menghela nafas. Lelaki itu mulai
menuangkan air ke filter kopinya. Aroma harum yang selalu dia suka sekaligus
selalu berhasil menenangkannya menguar memenuhi indra penciumannya.
“Aku
akan jatuh cinta lagi, Bel” jawab lelaki itu, “pada waktunya nanti,”
Bella
menghela nafas. Lelaki ini membuat orang-orang disekitarnya kuatir. Setelah
penghianatan Laras sepuluh tahun lalu, tak ada kisah tentang perempuan lain
penggantinya. Yang ada adalah kisah-kisah tentang perjalanan yang seolah tak
ingin diselesaikannya. Bahkan saat kedai kopi miliknya dibangun. Bukan berarti
lelaki ini masih mencintai Laras. Bella yang paling tahu bahwa kisah itu sudah
benar-benar selesai. Rasa itu sudah netral. Tapi Damar memang tak mudah
menambatkan hati seperti juga sepasang kakinya yang tak pernah menancap di satu
tempat.
“Kalau
kamu belum menemukan alasan untuk pulang, setidaknya buatlah tempat untuk
pulang” pesan Bella saat itu. Kalimat itu pula yang membuat Damar membuka kedai
kopi di sudut kota lama yang merupakan salah satu asset terbengkalai
keluarganya. Tempat untuk sekedar pulang.
Sekarang
Damar memikirkan kembali pesan itu. Keping memori di otaknya dengan sadis
mengulang kalimat itu dan pernyataan Bella bergantian. Tapi kalau benar dia
jatuh cinta pada Anin, lalu apa? Lelaki itu nyaris tak tahu apa-apa tentang
perempuan yang di ponselnya diberi nama tiramisu girl itu. Nama itu tampil
dengan jelas lengkap dengan gambar sepotong tiramisu cake sebagai display
picture bbmnya.
Damar : “Ping!”
Anin : “yup?”
Damar : “lama gak mampir kedai”
Anin : “iya”
Damar : “gak kangen?”
Anin : “Kangen siapa?”
Damar : “kangen aku misalnya?”
Anin : (laughing emoticon) gak
Damar : “tapi aku kangen”
Anin : “sama?”
Damar : “tiramisu cake kamu”
Anin : (smile) “sudah tidak buat tiramisu. Sudah
ganti menu”
Damar : “apa menu barunya?”
Anin : “chocolate roll cake”
Damar : “order satu dong”
Anin : “untuk kapan?”
Damar : “besok?”
Anin : “malam ya?’
Damar : “ok”
Kling!
Suara
itu terdengar untuk kesekian kalinya malam itu di kedai Damar diikuti ucapan
selamat datang dari para pegawainya. Malam yang sibuk tapi entah kenapa hatinya
tak tenang. Sudah empat kali Damar salah membuat pesanan dan membuat para
pegawainya bingung. Wajah tegang lelaki itu berhias senyum tipis yang nyaris
tak terlihat ketika bayangan Anin tertangkap matanya.
“Sibuk,
mas?” tanya Anin
“Lumayan,”
jawab Damar. Senyum terlihat di sepasang matanya. Tak berapa lama sepasang
manusia itu sudah duduk di teras lantai dua kedai itu.
“Bagaimana?”
tanya Anin usai Damar menghabiskan potongan pertamanya.
“Yummy,”
puji Damar, “chocolate mouse nya lembut banget. Bolunya juga gak terlalu manis.
Aku suka,”
“Syukurlah,”
senyum mengembang memamerkan sepasang lesung pipi yang selalu dirindukan Damar
dengan sukses.
“Nin,”
bisik Damar pelan.
“Hmm?”
gumam Anin.
“Kenapa
ganti cokelat?” tanya Damar
“Kan
aku sudah cerita, kopinya habis,” jawab Anin santai.
“Kalau
cuma masalah kopi, aku bisa sediakan untuk kamu,” desak Damar.
Anin
menghela nafasnya sendiri. Dari wajahnya tersirat dia tidak ingin bercerita
lebih banyak. Tapi Damar menunggu. Lelaki di depannya terus menunggu sambil
menyuapkan sedikit demi sedikit seloyang roll cake di depannya. Dan kisah itu
meluncur seperti air bah yang sudah terlalu lama dibendung. Kisah tentang
seorang pria penggemar kopi yang berusaha memperkenalkan serbuk hitam itu pada
seorang gadis pecinta cokelat. Serbuk hitam yang hampir selalu berakhir dengan
asam lambung akut di akhir sesapannya. Kisah tentang pria yang menyerah
menjelang hari pernikahan dan meninggalkan sekaleng ule kareng yang siap
diseduh.
Damar
terpaku. Langkah ringan dan senyum perempuan didepannya menipu semua orang
dengan sukses. Siapa yang menyangka perempuan yang banyak senyum itu menyimpan
luka dan serpihan hatinya sendiri.
“Tiramisu
itu hanya cara agar kopi itu cepat habis, mas,” tutup Anin, “setiap adonan dan
setiap potongannya adalah kenangan yang ingin kubuang. Katakanlah ini terapiku
menutup luka yang dia buat. Tiramisu terakhir adalah batas waktu yang
kutetapkan untuk kembali pada diriku sendiri,”
Damar
menatap senyum lembut perempuan di depannya. Masih ada getir di sepasang mata
berkacamata minus itu. Tapi senyum itu tulus juga. Tiba-tiba Damar tertawa. Derai
tawa yang membuat Anin bingung.
“Apa
yang lucu sih mas?” tanya perempuan itu. Ekspresi bingung di wajah Anin membuat
Damar makin keras tertawa. Tawanya makin menjadi ketika disadarinya Bella akan
tertawa menang saat menagih traktirannya nanti.
“Tunggu
di sini sebentar ya, Nin,” kata lelaki itu ketika tawanya mereda. Damar bangkit
dari duduknya dan meninggalkan Anin yang masih bingung tapi tak urung menuruti
perkataan Damar untuk tinggal.
Tak
lama Damar datang lagi dengan segelas minuman ditangannya. Lelaki itu
meletakkan minuman beraroma kopi bercampur vanilla di depan Anin yang masih
saja bingung. Damar tersenyum.
“Aku
gak minum kopi, mas,” kata Anin bingung.
“Coba
dulu,” bujuk Damar. Entah karisma Damar, atau senyumnya yang membuat Anin
menyerah mencicip minuman itu.
“Jadi?”
tanya Damar singkat.
“Manis,
lembut, cokelatnya terasa, tapi wangi kopi. Es krim vanillanya juga enak
banget. Enak,” jawab Anin.
“Nin,
aku berharap bisa memperkenalkan kopi-kopi beraroma nikmat seperti ini padamu,”
kata Damar serius, “tapi aku tak bisa memaksa dan tidak ingin memaksa. Aku hanya
bisa menawarkan jalan tengah untuk cokelatmu dan kopiku. Aku menawarkan mocca
untuk kita. Maukah kamu menerimanya?”
Anin
menatap Damar. Ada keseriusan di sepasang matanya. Perempuan itu tertunduk. Sejujurnya
ada ragu itu untuk hatinya sendiri. Siapkah hatinya mengambil resiko lagi? Siapkah
dia terluka lagi? Siapkah dia jatuh cinta lagi?
“Boleh buat bikin
kue?” tanya Anin dengan senyum isengnya yang membuat Damar tergelak lalu
mendaratkan ciuman di jari kekasih barunya.
Udah lama ngga baca cerpen romantis gini. Sukaaaa.
ReplyDeleteThank you kunjungannya mbak
Delete