Wednesday, June 24, 2015

Batas

Malam kiat larut saja di kota besar di Jawa Tengah ini. Sebuah kota yang tak sebesar Jakarta, tapi cukup sibuk untuk ukuran sebuah provinsi. Aku masih saja berjalan menyusuri lorong-lorong kota lama sambil sesekali meneguk teh dingin dalam botol yang kubawa. Vigo masih juga berjalan di sampingku. Kamera masih juga menggantung di leher kami masing-masing. Sesekali lelaki itu menggenggam tanganku terutama ketika aku mulai tidak aware kemana kakiku melangkah.
Intro sebuah lagi terdengar sayup-sayup.
Lelaki disampingku itu meraih smartphone yang bersarang di saku celananya. Sejenak obrolan singkat terjadi dengan beberapa kode yang diucapkannya yang aku tak pernah mengerti apa artinya. Tak berapa lama lelaki itu memasukkan kembali smartphone itu dan menatapku.
“sorry, tadi telp penting,” bisiknya sambil melingkarkan lengan pada bahuku yang jauh lebih pendek darinya.
“kamu harus pergi?” tanyaku pelan seperti biasa ketika ada panggilan-panggilan yang mengharuskannya meninggalkanku
“gak, dah beres kok. Cm tadi temen-temen ngajak ketemu”
“oh…” dan lengan itu melepasku dan kembali ke kameranya sendiri, “kenapa kamu gak pergi?” tanyaku sambil berjalan ke obyek lain.
“karena mala mini untuk kamu,” jawabnya ringan.
“aku bisa saja ikut,” kataku.
“ya gak bisa lah,”
“kenapa?”
“bisa bikin salah paham,”
“bukannya sudah biasa?”
“aku sudah punya dia. Aku gak mau teman-temanku mikir kamu pacarku,”
“kenapa?”
“katakan saja ini batasnya,” aku berhenti dari semua aktivitasku, aku mematung tanpa disadarinya, “aku bertemu denganmu, meluangkan waktu untukmu, jalan sama kamu, sesekali menghabiskan malam bersamamu, itu batasan kita. Lagi pula kamu juga sudah punya dia kan?”
Aku menghela nafas. Setelah sekian lama “berteman” dengan lelaki ini, baru kali ini dia memberikan batas wilayah untukku. Menegaskan batas yang tak boleh kulanggar dengan alasan apapun. Vigo benar. Masing-masing dari kami sudah punya orang lain. Seseorang yang cukup berharga untuk dipertahankan, dijaga, dan dicintai. Seseorang yang selalu berada pada garis realitas.
Tapi Vigo dan aku tak pernah menentukan batas kami. Bagaimanapun masing-masing dari kami tahu aturan mainnya. Kami paham betul batas wilayah kami masing-masing. Tapi Vigo tak pernah keberatan teman-temannya berpikir apapun tentang hubungan kami. Lelaki ini tak pernah ambil pusing. Dan sekarang dia menekankan soal batas. Batasan untukku seolah aku anak remaja kemarin sore yang menuntut eksistensi. Sial! Ingin rasanya aku melempar kepala lelaki itu dengan batu terbesar yang bisa kuraih demi membuatnya menyadari dengan siapa dia bicara.
“Drey? Ada apa?” tanyanya ketika akhirnya dia menyadari aku tertinggal jauh. Aku membuang nafas. Ya… aku tau aturannya aku tahu batasnya.
“gak ada,” jawabku seringan mungkin sambil berjalan cepat kearahnya.
Malam ini milikku. Malam ini, dia dan waktunya milikku.

“next time, aku mau motret anggrek,” bisikku mengakhiri malam itu.

No comments:

Post a Comment