Tuesday, June 23, 2015

"menonton" Pulang


pernahkah kamu membaca sebuah karya yang membuatmu seolah menonton sebuah film panjang yang tak punya jeda, melelahkan, tapi tak sedikitpun membuatmu beranjak. mungkin kamu akan menghentikan film itu sejenak dengan menekan tombol pause, tapi setelah sejenak mengistirahatkan otakmu, kau kembali melanjutkan tontonan itu. itu yang aku rasakan ketika membaca novel ini. entah kenapa detail visualnya melekat di otakku.

hanya dengan memasukkan keyword "novel pulang" kita bisa dengan mudah menemukan sederet reviewnya. bahkan dw.com juga punya review novel ini. 
jujur saja ini novel pertama Leila S. Chudori yang saya baca meskipun bukan berarti tidak pernah mendengar namanya, bagaimanapun saya masih terpesona dengan Dunia Tanpa Koma. 
novel ini berkisah tentang orang-orang yang tidak bisa pulang ke negeri tercintanya Indonesia karena sebuah tragedi sejarah yang selama puluhan tahun menjadi momok rakyat negeri ini. ketika pada akhirnya sang anak berhasil datang ke Indonesia pun tepat disaat pergolakan mei 98. ketika sang ayah menjadi korban dari sebuah tragedi dan sang anak hanya berniat menggali tragedi itu, di Indonesia sang anak menjadi saksi sebuah tragedi lain. 
jelas saya bukan generasi yang paham pergolakan politik 1965. apalagi saya punya orang tua yang sangat protektif atas isue tersebut. ketika anak lain wajib menonton film g30s, ortu saya dengan tegas menolak anaknya menonton film tersebut. menurut ortu saya film itu tidak sehat untuk anak-anak. ketika sudah dewasa dan sudah mengenal internet dan youtube saya paham kenapa ortu saya sangat protektif.
tapi cerita tentang tragedi itu bukan berarti berhenti, terutama ketika saya sudah mulai bertanya sebenarnya ada apa dengan bagian sejarah tersebut. dan memori kedua orang tua saya meluncur begitu saja. termasuk bahwa setiap orang diberi tanda pada identitasnya. menurut bapak keluarganya diberi tanda hijau yang berarti mereka keluarga muslim yang terlibat dalam organisasi muslim. menurut ibu keluarganya diberi tanda ungu yang berarti mereka orang biasa dan tidak terlibat apapun. tapi yang terjadi pada orang sekampung berbeda-beda dan saya hanya menjadi pendengar sambil membayangkan betapa tidak nyamannya kehidupan tersebut.
novel ini mengingatkan saya pada perasaan itu lagi.
bayangan jakarta pada masa itu seperti menonton sebuah potongan film catatan si boy dengan kostum tahun 60 yang dulu sering ketemu di tumpukan majalah lama ibu dan mbah putri salatiga.
bayangan tentang penangkapan dan interogasi tentara seperti menonton film marsinah. ngeri, mendebarkan, sekaligus sedih.
dan entah kenapa saya bisa membayangkan paris. mungkin karena film2 perancis yang dulu pernah sekali dua kali saya tonton saat kuliah dan nongkrongin beberapa teman mahasiswa BSA yang suka pamer indahnya perancis dari laptop mereka.
jakarta, mei 98, seperti melihat lagi tayangan berita TV yang terus kutonton demi tak mendengar nama Yogyakarta sambil berdoa semoga Yogya aman-aman saja.
seperti juga buku-buku yang membuat saya tak ingin beranjak, saya jatuh cinta pada karakter-karakternya. saya menikmati kisah Dimas dan Vivianne, membayangkan gantengnya Nugroho dan menikmati kesedihanya, membayangkan monggoda orang seserius Tjai. memahami Lintang Utara dan lembutnya Narayana, tapi juga jatuh cinta pada Bimo dan Alam, mengagumi ketenangan Mita (meski hanya karakter minor), memahami penolakan Rama dan sakitnya Aji Suryo dan Retno, tapi juga sangat mengerti gairah hidup dan keceriaan Andini.
bagaimanapun novel ini worth reading meskipun kisah cintanya berasa baca deretan novel harlequin. hehehehe

No comments:

Post a Comment